Jumat, 13 Maret 2009

HUJAN, COKLAT DAN FLAMBOYAN

Never ignore a person who
loves you...care for you...misses you...
Because, one day you may wake up
from your sleep and realize that
You have lost the moon while counting stars...

Aku memandang ke luar jendela yang basah oleh hujan. Meskipun pemandangan di luar tidak begitu jelas karena air hujan mengaburkannya, aku tetap memandanginya. Sambil menghirup bau tanah yang tersiram air hujan aku memejamkan mata. Sosok Reza pun hadir tanpa permisi.

"Aku suka sekali bau tanah yang basah karena hujan. Apalagi kalau habis musim kemarau panjang, aduh...seger banget baunya, khas banget...," begitu komentar Reza ketika kebetulan kami terjebak di depan kantor karena hujan yang tiba-tiba nyelonong tanpa ampun.

Aku hanya menatapnya sekilas. Ia tidak peduli, terus saja berceloteh tentang hujan.

"Heran ya, kenapa sih ada orang yang benci banget sama hujan? Yang katanya mengganggu aktifitaslah, bikin urusan nggak lancarlah. Memangnya dia nggak tahu kalau jauh di pedesaan sana para petani tuh ngarep banget hujan segera turun, biar tanamannya nggak keburu mati kekeringan?"

Aku menoleh lagi ke arahnya. Kali ini agak sedikit lama. Dari mana laki-laki ini tahu aku benci sama hujan? Aku yang terbiasa mengerjakan sesuatu dengan serba teratur dan cepat memang kadang merasa terganggu kalau tiba-tiba turun hujan.

"Eh, kamu benci juga ya sama hujan? Sori, bukan bermaksud menyinggung, cuma...nyindir, he he...," Reza terkekeh-kekeh sendiri menyadari aku tengah menatapnya setengah protes. Aku jadi salah tingkah.

"Memangnya kamu nggak takut pilek kalo sering kena air hujan?" tanyaku basa-basi. Tidak enak rasanya mengacuhkan Reza yang sedari tadi berusaha mengajakku ngobrol.

"Ya...kalo segalanya dipikir gak enaknya ya bakalan menderita. Takut pileklah, takut dinginlah, takut baju kotorlah. Coba deh kamu bayangin, ntar nih kita pulang, apalagi kalo pulang dalam keadaan basah karena kehujanan, terus kita mandi, ganti baju anget, bikin kopi panas sambil dengerin musik dan baca novel di kamar, aduh...nikmatnya," kata Reza sambil memejamkan matanya seolah ia benar-benar sedang menyeruput kopi panas di kamarnya.

Duuuh...dari mana lagi sih nih cowok tahu kalau aku suka minum kopi sama baca novel? Punya bakat jadi detektif kayaknya dia...oh bukan...bakat peramal atau dukun kayaknya.

Reza, lelaki yang dulu kakak kelasku sejak SMA sampai kuliah itu akhir-akhir ini memang memberi perhatian lebih kepadaku. Seingatku dulu ia tidak begitu, bahkan ngobrol panjang dengannya pun jarang kulakukan. Mungki karena dulu masih ada Nino, laki-laki yang hampir lima tahun menjadi kekasihku. Dan hampir lima tahun juga aku belum bisa menghapus kenangan manis bersamanya.

Mengingat Nino, selalu saja dada ini terasa sesak. Seandainya si Abang itu mau sedikit bersabar menungguku menyelesaikan kuliah, seandainya Uvi adik angkatan kami yang anak direktur perusahaan ternama itu tidak menawari Nino bekerja di salah satu kantor cabang milik ayahnya, dan seandainya Nino tidak mempertaruhkan janji setia kami dengan menerima cinta Uvi. Seandainya...ah...aku menahan air mataku agar tak tumpah seperti hujan sore itu yang tak kunjung reda.

Hujan masih enggan meninggalkan bumi yang haus. Mungkin ia tahu aku sedang ingin menikmatinya, seperti yang sering dilakukan Reza. Aku melirik coklat yang tadi sengaja aku beli di mini market dekat kantor. Kutimang-timang sebungkus coklat sambil merebahkan punggungku di sandaran tempat tidur. Sambil menikmati musik Kenny G yang bikin termehek-mehek, pelan-pelan kubuka bungkus coklat itu, mematahkannya sepotong dan memasukkannya ke mulut sambil memejamkan mata, menikmati legitnya yang bagi banyak perempuan dianggap musuh karena katanya bikin gendut. Reza meskipun bukan perempuan adalah penggemar berat-ia menyebutnya penikmat sejati-coklat.

Aku menjilati lumeran coklat yang memenuhi bibirku. Mungkin kalau ada yang melihat, dikiranya aku lagi casting atau syuting iklan coklat. Reza benar, coklat itu nikmat.

"Tahu nggak kenapa aku suka coklat? Katanya, orang yang suka coklat itu bisa menikmati hidup, ia tahu betul apa yang diinginkannya, apa yang bikin dia bahagia," kata Reza. Seperti biasanya, ia mengawali pembicaraan dengan pertanyaan yang lalu dijawabnya sendiri. Tidak peduli apakah aku akan menanggapinya.

"Eh, kamu nggak suka coklat ya? Sori, bukan bermaksud mengatakan dirimu tidak bisa menikmati hidup lho...," Reza pura-pura merasa bersalah. Aku tahu ia tengah berusaha mengajakku becanda.

Sekali lagi aku merasa tersindir. Aku yang oleh teman-temanku dikategorikan sebagai workaholic kelas berat memang terkesan tidak bisa menikmati hidup. Entahlah, mungkin karena aku jarang tertawa dan selalu pasang muka serius.

Hujan sudah mulai reda. Pemandangan di luar sedikit demi sedikit mulai terlihat jelas. Dan yang pertama menarik perhatianku adalah pohon flamboyan di dekat SMP yang dahannya sudah menjulang dan terlihat dari kamarku. Di musim kemarau bunganya yang merah dan rimbun terlihat jelas dari tempatku berdiri. Bertahun-tahun aku tidak pernah memperhatikannya. Kalau belakangan aku mulai suka memperhatikannya, itu juga karena Reza.

"Kenapa ya orang yang mempesona banyak orang dijuluki flamboyan? Mungkin karena flamboyan itu memang indah dan mempesona. Coba deh kamu perhatikan," kata Reza sambil menunjuk bunga flamboyan di dekat kantor yang waktu itu memang sedang mekar. Mau tidak mau aku ikut memperhatikannya.

"Memang indah kan? Pohonnya tinggi hingga orang yang menatapnya terkagum-kagum sekaligus gemas karena tidak bisa menyentuhnya. Kayak kamu kali ya...?" Reza menerawang masih memperhatikan flamboyan itu sementara aku memperhatikan Reza, menuntut penjelasan maksud kata-katanya.

"Seperti aku?" tanyaku, tidak tahan karena Reza tidak segera merespon keterkejutanku.
"Nggak sadar ya kalo kamu itu indah tapi tidak bisa disentuh?" tiba-tiba Reza menjadi serius.
"Bahkan sudah tidak ada Nino pun aku tidak bisa menyentuh hati kamu."
"Re...," aku menuntut penjelasan lebih karena Reza terdiam cukup lama. Reza masih diam.
"Jangan bilang kamu jatuh cinta sama aku...," kataku lirih.
"Kalo iya memang kenapa? Aku jatuh cinta sama kamu jauh sebelum kita kenal Nino. Tapi...Nino memang luar biasa ya, bisa bertahta di hati perempuan seindah kamu, bahkan sampai sekarang...dan tidak tergantikan. Jadi ngiri, he he....," Reza tertawa sumbang, tapi ekspresi wajahnya tidak terlihat seperti seseorang yang terluka. Ia sudah kembali ceria, seperti tidak mengatakan sesuatu yang luar biasa.

Aku tercenung. Keterusterangan Reza membuatku serba salah, tidak tahu apa yang harus aku katakan. Bahkan aku tidak tahu apa yang seharusnya aku rasakan. Bahagia karena ada lelaki sebaik Reza menyatakan cinta kepadaku? Aku tidak yakin, karena sejujurnya aku belum merasa jatuh cinta pada lelaki ini. Mungkin kaget dan bingung lebih tepatnya karena aku tidak menyangka sudah begitu lama Reza menyimpan rasa cinta kepadaku sementara aku tidak menyadarinya sama sekali. Reza begitu pandai menyimpan perasaannya. Dan sekarang ia menyatakan perasaanya, terus terang tapi terkesan tidak menuntut jawaban. Sepertinya ia hanya ingin aku tahu bahwa ia mencintaiku, ya semacam Sekilas Info di Tipi itu...

Sejak Reza menyatakan perasaannya, ia justru menjauh dariku. Diam-diam aku mulai merindukannya. Aku kangen mendengar tawanya yang serenyah emping melinjo dan tentu saja celotehannya tentang apa saja yang selama ini luput dari perhatianku. Tentang hujan, coklat, flamboyan....

Tiga bulan sudah aku tidak mendengar obrolan Reza tentang apa saja. Hanya senyum manisnya yang menyapaku setiap berpapasan di kantor. Aku mulai merasa ada sesuatu yang hilang jika tidak bertemu dengannya. Mungkin benar kata orang, sesuatu atau seseorang baru terasa berharga ketika ia menjauh dari kita.

Dan ini adalah puncak kerinduanku pada Reza. Sambil memandangi pohon flamboyan yang tidak lagi berbunga aku tersenyum. Akhirnya aku bisa jatuh cinta lagi. Ya...aku yakin, aku telah jatuh cinta pada Reza. Aku tidak ingin membiarkan perasaan itu menguap begitu saja. Aku harus mengatakannya. Kebetulan tadi Reza meneleponku, ia ingin bertemu. Ada hal penting yang ingin dikatakannya. Dan jika hal penting itu adalah ungkapan perasaan cinta seperti yang tiga bulan lalu ia katakan, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

Di bawah pohon flamboyan yang daunnya telah rimbun menghijau aku menunggu Reza. Aku sengaja datang lebih awal, aku ingin melihat kedatangan lelaki itu. Dan lihatlah...ia begitu tampan dengan setelan jeans dan hem putih bergaris lengkap dengan senyumnya yang selalu mengembang. Ya Allah...aku baru menyadari betapa menariknya lelaki ini !

"Sori, nunggu lama ya?" sapa Reza.
"Enggak...Kamu cakep banget sih hari ini...," kataku lancar. Aku sendiri heran bagaimana kata-kata gombal itu bisa keluar dari mulutku. Orang jatuh cinta memang ajaib.
"Baru sadar ya?" Reza membelalakkan matanya yang bulat.
"Kamu mau ngomong apa sih, katanya penting?"
"Kamu dulu dong, kan kamu yang telepon duluan ngajak ketemu. Mau ngomong kangen sama aku ya?" godaku. Heran, kok aku jadi genit gini ya?

Reza memandangku lama sekali. Tiba-tiba ada mendung di wajah tampannya. Aku jadi salah tingkah, takut ucapanku telah menyinggung perasaannya. Dengan sangat hati-hati Reza mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah undangan pernikahan! Dan sekilas ada foto Reza kulihat di sana. Dan perempuan itu...tiba-tiba jantungku berdegup kencang.

"Lin, do'akan ya...dua minggu lagi aku menikah," Reza mengangsurkan undangan itu kepadaku. Dengan tangan bergetar aku menerimanya. Aku tidak ingin membacanya, aku tidak ingin tahu siapa calon istri Reza. Aku menatap Reza yang tertunduk dengan mata mulai basah. Aku juga merasa ada air bening mengalir dari kedua mataku.

"Kamu tidak ingin mendengar jawabanku atas apa yang pernah kamu katakan tiga bulan yang lalu, Re?" tanyaku hampir tidak terdengar bahkan oleh telingaku sendiri?
Reza masih tertunduk. Matanya kini benar-benar basah.
"Jadi aku benar-benar sudah terlambat?" tanyaku hampir menyerupai bisikan.
"Ma'afkan aku, Lin. Rasanya aku memang harus realistis. Tanganku tidak sanggup menggapai flamboyan yang indah itu, aku cukup bahagia bisa menatapnya dari kejauhan, menikmati keindahannya dari tempatku berdiri. Toh, di sekelilingku banyak mawar, melati, anggrek yang dengan tanganku aku bisa meraihnya," kata Reza. Analoginya membuat hatiku semakin perih. Jangan ditanya bagaimana penyesalanku telah mengacuhkan perasaan Reza selama ini, hanya demi meyakinkan diri bahwa Reza lah lelaki yang pantas menggantikan posisi Nino di hatiku.

"Kamu lihat kan, flamboyan selalu berbunga di musim kemarau sementara daunnya berguguran, lalu bunga-bunga itu akan gugur dan daunnya mulai rimbun menghijau," Reza memandangi pohon flamboyan di atas kami dengan mata yang masih basah.
"Begitu pula seharusnya kamu, Lin. Aku yakin, masa-masa indah seperti ketika bersama Nino bisa kamu nikmati lagi. Flamboyan memang tidak berbunga sepanjang tahun, ia memang akan berguguran, tetapi ia pasti akan berbunga lagi, menampakkan keindahannya. Dan akan tetap menggemaskan tentu saja...," Reza tersenyum lebar, matanya sudah tidak basah lagi. Tapi tidak dengan mataku, titik-titik air semakin deras mengalir dari kedua mataku.

Aku tidak malu menangis di depan Reza. Rasa kehilangan ini jauh lebih hebat dari yang kurasakan ketika aku kehilangan Nino. Sekarang aku merasa, akulah flamboyan yang berguguran itu, yang tidak berharga dan akan mengering lalu terbang bersama angin. Atau terbuang dan membusuk bersama sampah-sampah yang lain. Rezalah flamboyan yang mempesona dan menggemaskan itu, dan aku hanya bisa menatap indahnya dari kejauhan.