Minggu, 31 Mei 2009

TENTANG DERAJAT CINTA ITU

Aku pernah mendengar siaran seorang penyiar radio favoritku di Yogya (sayang sekali dia sudah tidak siaran), katanya-dia mengutip Kahlil Gibran-ada tiga derajat cinta. Yang pertama kau mencintai seseorang karena kelebihan orang itu, yang kedua kau mencintai seseorang meskipun dia punya kekurangan-artinya ada toleransi, dan yang terakhir dan ini derajat yang paling tinggi, kau tidak tahu kenapa mencintai seseorang, kau hanya merasa sayaaaang aja sama dia.

Berdasarkan tiga derajat itu aku mencoba mengamati orang-orang di sekitarku, termasuk derajat keberapa cinta mereka. Yang pertama menjadi korban pengamatanku adalah Najma (lebih tepatnya sih laki-laki di sekeliling Najma). Kalau kau para lelaki membaca deskripsiku tentang Najma, aku jamin kalian akan jatuh cinta setengah mati sama dia. Secara fisik dia cantik, bahkan sangat cantik menurutku, tinggi langsing dengan kulit putih mulus (awas, ada yang mulai ngiler tuh!), dia ramah dan sangat rendah hati, pintar menghargai diri sendiri dan orang lain, pandai membawa diri dan sangat bijaksana. Cowok mana coba yang tidak klepek-klepek berhadapan sama dia...coba tunjuk jari!

Dengan berbagai kelebihannya itu tidak heran banyak lelaki yang mendekatinya. Sejak menjadi sahabatnya waktu masih kuliah dulu, aku sampai tidak bisa menghitung berapa cowok yang sudah proklamasi sama dia, belum lagi yang merayu-rayu aku untuk nyomblangin, itu juga belum termasuk yang menjadi secret admirernya. Dan menurutku cowok-cowok itu termasuk pemilik derajat cinta yang pertama karena mereka kebanyakan tertarik pada Najma karena berbagai kelebihannya. Kalaupun akhirnya ada di antara mereka yang naik jadi derajat kedua atau ketiga aku tidak tahu karena nyatanya tidak ada satu pun di antara mereka yang diterima cintanya oleh Najma. Kau tahu kenapa? Karena Najma masih belum siap mengulang "tragedi cintanya" dengan Ical.

Menurutku, Ical itu cowok paling bodoh sedunia, ya kalau terlalu luas se-Yogya ajalah! Mati-matian dia pedekate ke Najma sampai akhirnya Najma menerima cintanya. Baru Jalan setahun, Ical sudah mulai berubah, sering marah-marah gak jelas dan cemburuannya minta ampun. Harusnya dia tahu dong ya, kalau perempuan sejenis Najma itu memang banyak penggemarnya. Setahuku Najma juga tidak suka tebar pesona, si pesona itu sendiri yang menebar ke mana-mana. Buktinya, kalau kita lagi jalan sering dia itu masih terheran-heran sendiri kalau banyak orang-terutama kaum Adam-yang memperhatikan dirinya (pokoknya beda bangetlah sama Echy yang suka tepe-tepe itu, dan juga beda sama aku yang kadang-kadang merasa sok kecakepan sendiri).
"Lin, gigiku ada seledrinya ya, kok orang itu ngeliatin aku sih?" tanya Najma suatu ketika waktu kita lagi makan di warung soto "Sabar Menanti".
"Bajuku aneh ya?" ini pertanyaan standar Najma kalau lagi jalan ke Mall dan banyak mata laki-laki memperhatikan dirinya.

Tentang Najma dan Ical nantilah suatu saat kalau aku sempat dan kalau aku ingat akan aku ceritakan di bagian tersendiri. Yang bisa aku ceritakan sekarang adalah, aku masih belum mengerti, di mana-mana orang putus itu biasanya karena ada salah satu pihak atau dua-duanya yang tidak bisa menerima kekurangan pasangannya. Lha ini, kenapa justru karena Ical tidak bisa menerima berbagai kelebihan Najma? Kalau begitu, termasuk derajat keberapakah cinta Ical, turun ke derajat nol kah? Kalau kasus yang beginian, kayaknya Kahlil Gibran gak ikut-ikutan deh!

Baiklah, kita akan lanjutkan pengamatanku pada pemilik derajat cinta kedua. Kalau yang ini, banyak banget contohnya, biasanya sih pasangan yang sudah berhasil melewati tahap penyesuaian karakter masing-masing. Mereka sudah bisa mentolerir kelemahan pasangannya, gak cuma mau terima enaknya aja.

Mmm...kayaknya paling enak mengamati orang yang punya banyak kebiasaan jelek kali ya? Kayak Beben misalnya (sori, Ben...bukannya balas dendam karena kebiasaanmu yang suka memojokkan aku!). Santi, mantan pacar Beben itu sebenarnya sudah bisa menerima Beben apa adanya, tapi Bebennya sendiri yang gak pengertian banget. Masak iya sih memanfaatkan "kepasrahan" Santi dengan bersikap seenaknya sendiri?

Kalau kebiasaan "amnesia" laki-laki seperti tidak ingat tanggal ulang tahun atau tanggal jadian sih sudah jadi rahasia umum. Lha kalau Beben itu amnesianya udah kebangetan. Pernah dia nganter Santi kuliah sore dan janji mau jemput, sampai malam dia belum jemput karena lagi asyik main PS sama temen-temennya. Kebayang kan, gimana deg-degannya santi harus nungguin di Fakultas Peternakan yang di UGM itu letaknya paling ujung dan deket sama lembah yang gelap dan sepi yang waktu itu terkenal rawan? Akhirnya Santi harus ngalah pulang minta anter temennya yang kos di Klebengan.

Kalau kejadian seperti itu hanya sekali dua kali sih gak masalah ya, tapi ternyata toleransi Santi juga ada batasnya. Terlalu sering mengalah dengan sikap Beben juga tidak baik untuk kelanjutan hubungan mereka. Kapan dong Beben akan belajar jadi laki-laki yang lebih bertangung jawab? Sementara Santi adalah tipe orang yang cenderung menghindari konflik, gak mau ribut karena masalah-masalah sepele.

Nah, Santi yang pernah mencapai derajat cinta kedua pun akhirnya rela turun ke derajat pertama, kebayang kan betapa susahnya mencapai derajat cinta ketiga? Tentang derajat yang ini, ah...siapa ya korban pengamatanku kali ini? Butuh pengamatan ekstra kayaknya, perlu jeli memperhatikan bahasa tubuh, perlu...

"Lin...kamu denger Mama nggak sih?" suara Mama lembut tapi cukup mengagetkan aku.
"Ya, Ma...?" tanyaku, merasa bersalah karena membiarkan Mama bicara sendiri, kayak di sinetron-sinetron itu.
"Jam segini Papa kok belum pulang ya? Mana hujan lagi...," kata Mama sambil berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar dari balik gorden. Wajah cantiknya terlihat tegang.
"Kenapa gak ditelpon aja, Ma?"
"Sudah, tapi gak aktif...," suara Mama terdengar makin cemas.
"Kali aja baterenya abis, Ma, atau...jangan-jangan dijual Ma, HPnya, hi hi...," kataku berusaha menenangkan Mama.
"Kamu ini...," tegur Mama.

Tiba-tiba muncul ideku untuk interview Mama tentang perasaan cintanya sama Papa. Tentu saja setelah aku menelepon Mas Abiem, kakakku yang lagi keluar untuk lewat jalan yang biasa dilalui Papa, ya biar Mama sedikit tenang.

"Ma...Mama dulu kan dijodohin, kok bisa cinta banget gitu sih sama Papa?"

Mama memandangku lama sekali. Lalu ia tersenyum dan mengulurkan tangannya, isyarat agar aku mendekat ke pelukannya. Ini kebiasaannya kalau lagi pengen ngomong serius atau menceritakan masa lalu.

"Cinta itu seperti tanaman, inget kan kamu pernah nulis cerpen tentang itu? Semua tergantung kita, mau merawat tanaman itu atau membiarkannya kering lalu akhirnya mati," kata Mama mengingatkan aku.
"Ya, kalo itu sih semua orang juga tahu, Ma, dan hampir semua orang bisa melakukannya."
"Nah, kalo kebanyakan orang mendapatkan tanaman yang sudah tumbuh, Mama dan papa ibaratnya cuma dikasih biji, jadi kami harus sabar menunggu biji itu tumbuh, lalu merawatnya sampai akhirnya berbuah. Nah, ini salah satu buahnya yang manis," kata Mama sambil memelukku erat. Ada kehangatan yang mengalir di tubuhku, membuat hatiku dipenuhi perasaan haru.

Ah, Mama...pasti butuh usaha yang luar biasa untuk merawat cinta itu hingga makin dalam, sampai detik ini. Aku tidak yakin punya cukup energi untuk menumbuhkan dan merawat cinta seperti itu jika berada di posisi seperti kalian ketika menikah dulu.

Hampir terlelap aku di pelukan Mama ketika tiba-tiba di antara suara derasnya hujan terdengar suara motor di luar. Itu suara motor Mas Abiem! Mama bergegas keluar, aku menyusul di belakang. Papa dan Mas Abiem yang setengah basah langsung disambut pertanyaan betubi-tubi dari Mama. Dengan sabar Papa menjelaskan kalau mobilnya mogok di Jalan Kusumanegara, lalu batere HPnya memang habis,lalu bla bla bla...aku tidak berminat mendengarkan lagi karena aku sedang asyik mengamati wajah Mama yang lega tapi khawatir dengan keadaan Papa saat ini, takut tubuh yang mulai renta itu jadi sakit karena kehujanan. Aku juga suka melihat wajah Papa yang seakan merasa bersalah karena sudah membuat Mama khawatir. Ah, indahnya...

"Heh, bengong aja! Bikinin kopi panas napa?" tegur Mas Abiem.

Seperti kerbau dicocok pantatnya aku ngeloyor ke dapur. Di tempat ini lagi-lagi aku teringat kebersamaan Mama dan Papa. Ingat saat Mama sakit dan Papa dengan telaten membujuk dan menyuapi Mama.

Jadi ingat nasehat Bang Zaitun untuk Arai yang lagi jatuh cinta sama Zakiah di novel "Maryamah Karpov"nya Andrea Hirata.
"...cukup kau tunjukkan raut muka bahwa kau bersedia menyuapinya nanti jika ia sakit, bersedia menggendongnya ke kamar mandi jika ia sudah renta tak mampu berjalan. Bahwa kau, dengan segenap hatimu, bersedia mengatakan di depannya betapa jelitanya ia, meski wajahnya sudah keriput seperti jeruk purut, dan kau bersedia tetap berada di situ, tak ke mana, di sampingnya selalu, selama empat puluh tahun sekalipun..."

Mataku berkaca-kaca. Detik ini juga, suka atau tidak suka, aku umumkan : Mama Papaku adalah pemilik derajat cinta ketiga, dan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi!

Jumat, 08 Mei 2009

MENIKAHI ORANG YANG DICINTAI, ATAU.....?

Rapat Geng Sabar Menanti kemaren malam memutuskan : aku harus datang ke pernikahan Reza! Hhh...benar-benar keputusan yang aneh! Bukannya aku keberatan datang ke pernikahan Reza, aku hanya sedikit merubah keputusanku untuk tidak datang pas hari H, tapi sebelum atau sesudahnya. Simpel kan? Tapi geng Sabar Menanti itu memang hobi merapatkan hal-hal gak penting, lalu mendiskusikan panjang kali lebar kali tinggi hingga menghasilkan keputusan yang tidak dapat diganggu gugat.

"Kamu tuh kepe-dean banget sih, emangnya berita kamu sama Reza itu sudah masuk infotainment? Orang sekantor kamu aja gak ada yang tau," cerca Beben waktu aku mengatakan alasanku tidak datang pas hari H karena tidak ingin jadi pusat perhatian.

Bukan tanpa alasan kalau aku mengkhawatirkan hal itu. Aku masih ingat waktu mengantar Neva sepupuku datang ke pernikahan Aswin, gebetan Neva. Ceritanya Neva itu ketahuan jatuh cinta berat sama Aswin, tapi ternyata Aswin sudah memutuskan untuk menikah sama Intan, cewek yang juga dikenal baik oleh Neva. Sebenarnya Neva cukup tabah menerima kenyataan (ya iyyaalah...buktinya ia mau datang ke pernikahan mereka kan?), tapi orang-orang di sekelilingnya itu lho yang justru bikin Neva termehek-mehek. Tatapan kasihan dari teman-teman dan sodara-sodara Aswin, belum lagi celetukan-celetukan dengan nada menyindir dari beberapa temannya. Orang lain itu memang kadang lebih hiperbolis dari kita yang punya masalah kan? Duuh, aku jadi kasihan juga sama Neva waktu itu.

"Tenang aja Lin, ntar aku bawain sapu tangan atau handuk sekalian kalo ntar kamu nangis, sama ember-embernya juga boleh, hi hi...," Echy cekikikan sendiri. Dia itu emang paling gak peka sama penderitaan orang.
"Sebenernya Alin itu gak senelangsa yang kalian pikir. Dia cuma mikir, apa yang membuat Reza menikahi Wita, dijodohin sama ortunya atau dia benar-benar mencintai perempuan itu ?" Najma angkat bicara. Aku mulai merasa adem kalo si Bijak itu sudah mulai berfatwa.
"Memang ada bedanya buat kamu, Reza menikahi orang yang dia cintai atau dia akan mencintai orang yang dia nikahi ?" tanya Alvin. Pertanyaannya langsung menohok ke ulu hatiku.
"Memangnya salah kalo Reza itu menikahi orang yang tidak, eh sori...belom ia cintai, sementara orang yang ia cintai tidak pernah peduli pada perasaannya ?" tanya Alvin lagi.
"Iya, orang yang dia cintai kan memang tidak peka, tapi Pekok !" sahut Beben. Pekok itu kata dari Bahasa Jawa yang artinya sama dengan bodoh, dan kata itu kasar sekali menurutku.
"Makanya jadi orang itu kalo jalan lihat ke depan gak usah kebanyakan noleh ke belakang, kesandung baru tau rasa kan? Kege-eran banget tuh si Nino kalo tau kamu tidak bisa melupakan dia!" kata Beben lagi. Biasa, lagaknya sok memberi nasehat tapi sebenarnya ia sedang menyalahkan atau menertawakan kebodohan orang lain.

Aku diam saja seperti pesakitan, berharap ada yang menyelamatkan aku dari berbagai kesaksian yang menyudutkanku.

"Sudahlah, Alin kan memang tidak tahu kalo Reza diam-diam mencintai dia? Mungkin saja Reza juga tidak terlalu jelas mengirimkan sinyal-sinyal cinta, tidak punya keberanian untuk menunjukkan perasaannya ?" bela Najma. Thanks God, dia selalu jadi Dewi Penyelamatku.

"Si Reza tidak berani menyatakan cintanya karena jelas-jelas ia tahu hati Alin cuma buat Nino seorang. Ibarat pintu, hati Alin itu sudah dikunci rapat, trus kuncinya ditaruh di kotak yang terkunci lalu kotak itu disimpan di lemari yang juga dikunci," Beben masih bersikeras menyalahkan aku. Hmm...lebay...lebay...
"Apa perlu kita panggil Reza ke sini buat klarifikasi, kenapa dia tiba-tiba memutuskan untuk menikah justru setelah ia proklamasi ke Alin ?" usul Echy serius, membuat semua menoleh keki ke arahnya.
"Echy Sayang...kalo kau mengkritisi atau menganalisa kebijakan pemerintah, kau tidak perlu memanggil presiden ke sini kan ?" kata Alvin sabar.
"Ya enggaklah, memangnya Reza ngundang presiden ke kawinannya? He he...ada-ada aja....!" Echy mengibaskan tangannya sambil tertawa geli. Beben ngakak habis. Alvin menggaruk-garuk kepalanya yang emang gatal (maklum dia baru saja mendarat waktu dikabari rapat koordinasi ini jadi belom sempat mandi).

"Vin, kamu mau tau, apa bedanya buat aku, Reza menikahi perempuan yang ia cintai atau dia akan mencintai perempuan yang ia nikahi?" tanyaku sambil menegakkan badan. Alvin juga menegakkan badan, pertanda ia siap mendengarkan pembelaanku.
"Kalo Reza menikah dengan perempuan yang ia cintai, setidaknya aku tidak akan menyalahkan diriku sendiri. Tapi kalo Reza menikah bukan atas dasar cinta, aku akan merasa bersalah karena aku punya andil untuk membuat Reza berada di posisi itu," kataku.

Alvin diam, tangannya menggaruk-garuk dagu pertanda ia lagi kegatelan, eh...lagi mikir. Semuanya diam, aku berharap itu pertanda mereka bisa menerima pembelaanku dan mengijinkan aku tidak datang pas hari H di pernikahan Reza.

"Nah, itu dia! Hukum Karma sedang menimpa dirimu. Karena tidak mempedulikan perasaan Reza, kamu akan dihantui perasaan bersalah sepanjang hidupmu. Karena itu kau harus menebusnya dengan datang ke pernikahan Reza!" suara Beben memecah kesunyian.

Heran ya, ada orang yang begitu hobi menyalahkan orang yang sudah merasa dirinya bersalah? Terus, apa hubungannya coba, menebus dosa dengan datang ke pernikahan Reza ? Memangnya segampang itu "Hukum Karma" bisa dihilangkan ?

"Kalo menurutku sih, Lin, kamu memang harus datang ke pernikahan Reza. Bagaimanapun Reza juga sudah tau kalo kamu mulai jatuh cinta sama dia. Jangan sampe Reza juga merasa bersalah sama kamu, mungkin saja memang ada sebuah alasan yang tidak bisa ia elakkan," kata Najma sungguh-sungguh.

Nah, begini cara membujuk orang yang paling tepat! Ada alasan yang masuk akal, yang bikin aku bisa mikir baik buruknya keputusan yang akan aku ambil. Buktinya, aku langsung mengangguk takdzim pada petuah sahabatku ini.

"Nah, gitu dong...siapa tau ntar di kawinannya Reza kamu ketemu jodoh!" seru Echy girang. Hmm...ini lagi! Eh, tapi siapa tau ya, he he...*ngarep*


Aku memandangi lukisan bunga Flamboyan yang sudah kusempurnakan. Lukisan ini aku buat hanya semalam, tepatnya ketika aku menangis semalam (pinjam lagunya Audy, hiks hiks...)setelah pertemuanku dengan Reza. Sebenarnya lukisan itu hanya ingin aku pajang sendiri di kamar, tapi seminggu kemudian aku berubah pikiran, aku ingin memberikannya pada Reza sebagai kado pernikahan.

Setelah selesai membungkus lukisan itu tidak sadar tanganku meraih undangan pernikahan Reza. Berbagai pertanyaan kembali berkecamuk di benakku. Kenapa secepat itu Reza memutuskan untuk menikah? Apakah ia dijodohkan? Apakah ibunya seperti Tante Firza yang rajin mencarikan jodoh untuk anaknya? Najma bilang mungkin ada sebuah alasan, aku harap begitu.

Aku menarik napas panjang. Setidaknya ungkapan cinta Reza tempo hari sudah membuka pintu hatiku. Memang bukan Reza yang akan bersemayam di sana, tapi setidaknya pintu itu sudah terbuka dan aku tidak akan menutupnya kembali sebelum seseorang yang tulus mencintaiku memasukinya. (Hmmm...klise nggak sih ?)

More Than Wordsnya Extreme mendayu-dayu di HPku. Ada SMS masuk. Siapa sih yang insomnia kayak aku, lewat tengah malam masih SMS ini ? Males-malesan aku meraih HP di samping tempat tidur. SMS dari Reza!

Lin, aku bisa ngerti kl kamu tdk mau dtg ke pernikahanku.
Yg penting do'anya ya, semoga semuanya lancar, dan yg
lbh penting smg kamu cepet nyusul ya...

Aku tersenyum. Ah, Reza...kamu masih begitu peduli pada perasaanku. Cepat-cepat aku membalas SMS Reza.

Re, bgmn mgkn aku tdk mau dtg ke pernikahan seseorg yg sdh membuka pintu hatiku? Seseorang yg sdh bs membuat aku menertawakan kebodohanku sendiri? Kl bsk kau melihatku menangis, itu krn aku bahagia melihatmu di sana

Tidak tahu kenapa, aku betul-betul seperti merasakan kebahagiaan orang yang akan menemui peristiwa bahagia.

Kau tdk marah padaku kan? Aku yg pengecut karena tidak berani mengungkapkan perasaanku dr dl. kau tahu, tepat ktk aku mengatakan cinta padamu, saat itulah genap usiaku 31 th dan itu batas wkt yg kujanjikan pada Ibu utk melupakan kamu dan menerima perempuan pilihan ibuku.

Aku terhenyak. Jadi benar dugaan Najma, pasti ada alasan yang tidak terelakkan. Dan siapa yang sanggup mengelak pada janjinya sendiri, apalagi janji yang diucapkan di hadapan Sang Bunda? Aku tidak cukup mengenal Tante Marini-ibunya Reza- tapi aku tahu ia perempuan yang hebat, single parent yang berjuang keras mengentaskan keempat anaknya.

Re, kl aku marah, itu artinya aku marah sama Tuhan kan?
Kau pasti tahu, mencintai dan memiliki itu dua hal yg berbeda. Memang kt semua ingin memiliki seseorg yg kt cintai, tp kt tdk tahu skenario hdp kt kan ?
(cie...aku sok Yes ya? He he...)

Ada perasaan lega yg entah datang dari mana ketika aku membaca dan membalas SMS Reza.

Bkn sok Yes, km memang Yes kok, he he...(mumpung msh bs nggombal nih...)
Makasih Lin, aku yakin bisa mencintai perempuan yg akan jd milikku ini. Met tidur ya...bsk dandan yg cantik (he he...nggombal lagi!)

Aku senyum-senyum sendiri. Aku percaya Reza sungguh-sungguh. Meskipun tidak bisa menikah dengan perempuan yang ia cintai, aku yakin ia bisa mencintai Wita, perempuan yang besok ia nikahi.

Aku meletakkan kembali HP di meja, tapi mataku tidak mau juga terpejam. yang terpikir di benakku, kalau sampai beberapa tahun ke depan aku belum menemukan atau dipertemukan dengan laki-laki yang aku cintai, lalu Mamaku ketularan Tante Firza yang hobi mencarikan jodoh untuk anaknya, lalu aku harus menikah dengan laki-laki yang...hua...aku tidak sanggup membayangkan! Aku menutup mataku dengan bantal.

Extreme mendayu-dayu lagi. Reza, kamu tidak akan membatalkan pernikahan besok karena SMS kita tadi kan ? Please...kamu kan harus kelihatan segar besok pagi, kenapa masih juga terjaga sepagi ini?

Malas-malasan aku meraih HP. SMS dari Echy...! Kenapa lagi tuh anak jadi ikut-ikutan insomnia ? Dia kan paling gak bisa nahan kantuk, agak-agak sleepaholic malah.

Lin, aku lupa...sepatuku yg putih kan udah jelek bngt, pdhl bsk aku mo pake gaun baby pink sm tas putih yg kt beli kmrn? bsk msh smpt mampir gak ya nyari sepatu?

Aku langsung mematikan HP sebelum Echy menelponku (kebiasaannya yang gak sabaran itu adalah menelepon orang yang kelamaan balas SMS). Tiba-tiba penyakit insomniaku hilang dan aku langsung memeluk guling dengan syahdunya.