Jumat, 12 Juni 2009

HATI YANG TAK PERNAH TUA


Aku masih di kamar, bersiap-siap ke kantor ketika bel rumah berbunyi lalu kudengar percakapan Mama, Papa dan Mas Abiem dengan seseorang. Ramai sekali seperti pasar kaget. Siapa ya, pagi-pagi gini sudah bikin kehebohan? (lebih tepatnya sih sudah bikin Mama heboh, soalnya yang paling rame suara Mama).

Setelah menyambar tas, aku bergegas keluar untuk melepaskan rasa penasaranku. Oalah...ternyata Minto anaknya Pak Sardi, tukang ojek langganan keluarga kami. Pak Sardi itu yang dulu setia mengantar jemput aku sejak SD sampai SMP. Kalau Minto itu yang sekarang sering mengantar Mama ke pasar kalau kebetulan tidak ada orang nganggur di rumah.

"Lin...sini cepet...!" tereak Mama begitu melihatku nongol dari balik pintu, padahal baru kepalaku lho yang nongol. Heran, si Mama jadi lebay gitu kenapa ya?
"Sini...cepet...!" Mama melambai-lambaikan tangannya dengan cepat, seperti orang ketinggalan angkot.
"Pak Sardi mau nikah lagi...!" kata Mama masih dengan nada enam oktafnya.
"Hah, yang bener, Ma?" tanyaku dengan nada tujuh oktaf.
"Bener, Min?" tanyaku pada Minto dengan gaya tak kalah lebay dari Mama.
"Nggih, Mbak Alin. Besok malam Pak Arifin sekeluarga diminta datang untuk mberkahi pernikahan Bapak. Pesennya Bapak, pokoknya Mbak Alin harus datang," kata Minto dengan sopan. Kebiasaannya kalau ngomong sama kami sekeluarga sampai membungkuk-bungkuk kayak orang Jepang gitu.
"Kalo Alin nggak datang, Pak Sardi nggak jadi kawin, gitu?" goda Mas Abiem.
"Ya ndak gitu, Mas Abiem," kata Minto malu-malu.
"Bilang sama Pak Sardi ya, aku pasti datang!" kataku mantap. Padahal aku sudah janji sama anak-anak Geng Sabar Menanti untuk nonton di Amplaz. Aku tidak peduli Echy akan ngamuk-ngamuk, atau Beben akan menuduhku egois soalnya jarang-jarang kita bisa jalan dalam formasi lengkap, biasanya sih ada salah satu, salah dua atau salah tiga yang tidak bisa ikut.

Bukannya aku sok perhatian sama wong cilik seperti Pak Sardi, tapi dia itu seperti orang tua kedua bagiku. Nasehat-nasehatnya sewaktu mengantar jemput sekolah itu masih tersimpan dengan baik di memori otakku.

Aku tidak tahu kenapa waktu kecil aku tidak mau dibonceng tukang ojek lain selain Pak Sardi. Yang aku tahu hanya perasaan nyaman ketika berada dalam boncengannya. Sifat kebapakannya yang membuat aku merasa seperti itu, juga penampilannya yang selalu bersih dan rapi bahkan sedikit wangi.

Untungnya teman-teman Pak Sardi maklum dengan kelakuanku. Kalau aku sudah muncul dari gerbang rumah bersama Mama yang menggandengku, tukang ojek di pangkalan ojek "Sabar Menanti" akan melantunkan koor tanpa komando.

"Di...Sardi...anakmu...!" tereak mereka. Lalu Mama akan menaikkan aku ke boncengan, kemudian berpesan panjang lebar padaku dan pada Pak Sardi. Herannya, Pak Sardi selalu mendengarkan dengan takdzim kata-kata Mamaku sementara aku yang sudah hafal dan bosan mendengarnya berteriak-teriak agar Pak Sardi segera memacu motornya.

Saking senangnya sama Pak Sardi, sejak SD aku selalu mencium tangannya ketika turun dari motor. Itu sebabnya, Devi yang-tidak tahu kenapa-selalu memusuhiku, menyebarkan gossip kalau aku anak tukang ojek. Dan anehnya, aku tidak berminat sedikitpun untuk memukul Devi atau minimal mencubitnya. Aku diam. Kupikir waktu itu, kenapa memangnya kalau anak tukang ojek, apalagi tukang ojeknya sebaik Pak Sardi?

Dan ketika tiga tahun lalu istri Pak Sardi meninggal karena gempa, sementara Pak Sardi sendiri tulang kakinya patah dan rumahnya rata dengan tanah, aku menangis semalaman. Baru setahun belakangan ini Pak Sardi bisa berjalan normal kembali meskipun akhirnya ia tidak bisa narik ojek lagi dan sekarang digantikan Minto, anak keduanya.

Kata Minto, calon istri Pak Sardi seorang janda yang suaminya meninggal karena gempa juga. Mereka bertemu di pusat rehabilitasi korban gempa milik sebuah yayasan. Mungkin karena merasa senasib sepenanggungan ya? Apa yang bisa dilakukan dua hati yang kehilangan tempat berbagi selain saling berbagi?


Pernikahan Pak Sardi dan Bu Murti berlangsung khidmat. Sederhana dan tanpa pesta mengingat usia mereka yang sudah tidak muda. Semua yang hadir terutama anak cucu pasangan ini terlihat bahagia. Tapi...ada seseorang yang tidak kutemui di ruangan ini, juga di luar tadi. Lasmi! Ya, aku belum melihat anak bungsu Pak Sardi itu. Aku mengedarkan pandangan ke ruangan, juga melongok sejauh kepalaku bisa menjangkaunya. Tidak ada!

Aku baru saja hendak bertanya pada salah satu kerabat Pak Sardi ketika telingaku menangkap suara bisik-bisik di belakangku. Aku menajamkan telinga dan naluri berburu gossipku. Sepertinya mereka tetangga Pak Sardi. Dari bisik-bisik tetangga aku tahu kalau Lasmi sengaja pergi dari rumah sejak seminggu sebelum pernikahan itu berlangsung. Kata mereka Lasmi malu karena bapaknya yang sudah punya cucu itu menikah lagi.

Kau bilang malu, Lasmi? Kau belum pernah membaca cerpen "Anak-anakku Yang Tercinta"nya Emha ya? Oh, ya aku lupa, kata Bapakmu kau memang tidak suka membaca. Baiklah, aku bacakan sedikit untukmu : yang namanya hati itu tidaklah pernah tua. Ia tak pernah berusia berapa pun. Pikiran bisa menjadi matang atau tetap mentah, remaja atau dewasa. Tetapi hati hanya tahu membutuhkan hati yang lain sebagai sahabat hidupnya. Tak peduli berapa usianya.

Mungkin kau perlu waktu lama untuk mencernanya, tapi cobalah kau lihat laki-laki tua yang kujumpai ini. Kalau kau lewat jalan ini-dan tentu kau akan melewatinya karena jalan itu ada di dekat rumahmu-kau akan melihat laki-laki tua di dekat lampu merah di sebelah pos polisi itu. Lelaki itu memang tidak menadahkan tangannya untuk meminta-minta. Ia hanya diam di situ mengharapkan siapa saja yang berbelas kasih memberinya makanan atau sedikit uang. Aku hampir menangis ketika melihatnya malam-malam sehabis hujan, ia masih di tempat biasanya, mengunyah roti yang kuberikan dengan lahapnya, dengan giginya yang hampir habis. Mungkin ia kelaparan karena tidak ada orang yang mau berhujan-hujan memberinya makanan atau uang.

Kau tahu Lasmi, setiap kali jalan bareng teman-teman atau keluargaku dan melihat laki-laki tua itu, aku selalu menanyakan apa yg ada di benak mereka ketika melihat laki-laki itu, jawaban mereka hampir seragam.
"Kira-kira, dia masih punya keluarga nggak ya? Anak istrinya ke mana ya?" tanya Echy. Tumben kan, dia yang biasanya gak peduli sama penderitaan orang bisa bertanya dengan nada sedih yang tidak dibuat-buat gitu.
"Mungkin anak-anaknya terlalu sibuk dengan permasalahan hidup mereka masing-masing," tebak Alvin.
"Mama nggak ngebayangin akan mengalami masa tua seperti itu," kata Mama dengan mata berkaca-kaca.

Kau mungkin saat ini merasa masih bisa mengurus bapakmu, tapi Lasmi, kalau suatu saat nanti kau berkeluarga dan kau mulai sibuk dengan berbagai persoalan rumah tangga yang menghimpitmu, apa kau yakin masih bisa menemani bapakmu, menyediakan hatimu untuk mendengarkan suara hatinya? Dan jika sekarang ada seorang perempuan yang mau berbagi hati dengan Bapakmu, bukankah itu akan sedikit mengurangi bebanmu dan membuat Bapakmu lebih bahagia?

Aku tahu Lasmi, kau tidak akan menunggu sampai kau termakan usia atau merasakan kehilangan separuh hatimu untuk merenungkan ini semua.



* Refleksi 3 tahun gempa (di Yogya) dan 35 tahun usiaku (Hmm...tidak terlalu tua kan untuk mendamba sebuah hati sebagai tempat berbagi?)*