Selasa, 21 September 2010

MENGAIS SEPOTONG RINDU





Ada sedikit penghiburan untukku ketika persahabatanku dengan Echy belum pulih seperti sedia kala. Beben yang biasanya selalu "berseteru" denganku tiba-tiba jadi baiiiik banget. Kuakui, dia itu sebenarnya emang baik banget, apalagi sama kami sahabat-sahabat ceweknya. Tapi kadang ia mengekspresikan rasa sayangnya dengan cara yang menurutku kurang tepat. Ia memang harus lebih banyak belajar menggunakan "bahasa perempuan". Lihat saja ketika ia memojokkan aku yang dianggapnya tidak mempedulikan perasaan Reza, atau ketika Echy "meneror" Pramu dengan telpon-telponnya. Ketika berdiskusi sama Najma pun, ia tak segan berdebat sengit. Untung saja Najma yang cerdas dan bijak itu bisa meladeninya.

Dan saat-saat seperti ini, Beben rasanya bak kolak ketika berbuka puasa, atau es teler ketika dahaga menyapa karena mentari menyengat tepat di atas kepala...hahaha...hiperbolis nggak sih...? Tapi beneran, hari-hariku jadi terasa berbeda dibandingkan selama ini ketika banyak waktu luang sering kuhabiskan bersama Echy. Rasanya lebih berkualitas (sori, Chi...bukannya bersamamu tidak berkualitas ya...!), bagaimana tidak? Beben itu tidak pernah melewatkan berita apapun, terutama politik dan bola. Dan dia itu kritisnya luar biasa, belum lagi buku-buku bagus yang selalu ia baca, gak kayak aku yang doyannya novel aja. Itu belum termasuk referensinya soal musik dan film...beuh...ngobrol sama dia berasa nonton Kick Andy atau Mata Najwa!

Tapi nih...ada satu kelemahannya, jangan bicara sama dia soal cinta, kagak bakal nyambung!!! Itu mungkin sebabnya kisah cintanya selalu kandas, pemahamannya soal perempuan memang minim banget sih...(sori, Ben...just my opinion lho!). Kayaknya ini saat yang tepat baginya untuk belajar memahami sosok berjudul perempuan, dari seorang perempuan tentunya. Dan aku akan dengan senang hati mendengar curhatnya, asal ia juga dengan senang hati mau meminjamkan buku-buku dan koleksi filmnya. Hmmm...sekarang ini gak jamannya gratisan, Bung...hihihi...yang penting saling menguntungkan, ya kan kan kan kan...?

Di Gazebo taman belakang rumahku, Sabtu sore ini kami ngobrol ngalor ngidul, tentang apa saja...kecuali politik ya, denganku Beben agak membatasi diri karena ia tahu aku tidak begitu suka politik, kalau bola okelah...ia tahu aku suka nonton bola, meskipun cuma suka nonton pas Piala Dunia...atau sesekali kalau Barca atau Inter Milan main.

"Lin, emangnya semua cewek itu suka banget ya diperhatikan?" tanya Beben polos.
"Lah, gak cuma cewek, semua makhluk hidup juga butuh dan suka diperhatikan!" jawabku ringan.
"Maksudku, apakah perhatian itu jadi indikator utama bahwa seseorang itu sayang atau cinta?" tanya Beben lagi.
"Logikanya, kalau seseorang itu menyayangi seseorang, ia pasti peduli pada keadaan orang itu, selalu ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja, tidak mau melihatnya kecewa apalagi terluka...so simple, isn't it?"

Beben diam saja, padahal aku sudah siap berdebat dengannya soal ini. Meskipun saat ini lagi jadi jomblowati paling tidak aku punya pengalaman yang tidak sebentar dalam urusan cinta. Hubunganku dengan Nino dulu bukan seumur jagung, cukuplah untukku belajar tentang bagaimana memahami seseorang.

"Kenapa ya, semua kisah cintaku selalu berakhir karena masalah perhatian? Menurutmu, aku terlalu cuek nggak sih?" tanya Beben serius.
"Cuek dan egois...!" jawabku, sontak Beben bangun dari tidurannya.
"Serius...?" tanyanya tak percaya.
"Dua rius...! Mau aku lebih jujur lagi?" tantangku, membuat Beben makin antusias.
"Kadang-kadang tidak peka dan tidak berperasaan...!" lanjutku.
"Jangan asal nuduh ya...!" seru Beben nggak terima.
"Oh...nggak gitu ya? Oke, kamu tuh perhatiaaaan banget sama cewekmu, sampai-sampai waktu Santi kecelakaan motor pun seminggu lewat kamu baru tahu...!" sindirku.
"Dan siapa itu yang ke mana-mana sering pergi sendiri karena cowoknya sibuk main futsal, ngegame, rapat-rapat atau diskusi di kampus sampai tengah malam?" aku masih mereply "dosa-dosa" Beben.
"That's my life...dia harus bisa ngerti dong...!" Beben nggak mau kalah.
"Itulah masalahmu...menuntut orang lain ngerti tapi kamu nggak mau tahu perasaan orang lain...!"
"Itu cuma analisamu kan, buktinya dia nggak pernah komplain?"
"Iya, karena dia cinta banget dan ogah ribut sama kamu...tapi akhirnya minta putus juga kan?"

Beben tercenung, sepertinya ia sedang mengingat saat-saat putus dari Santi, kekasih yang setahuku paling bisa ngertiin Beben dan paling lama bisa bertahan sama makhluk super cuek itu.

"Santi itu cinta banget lagi, Ben sama kamu...!" kataku pelan. Santi memang tidak bilang begitu padaku, tapi aku bisa melihat dari tatapan mata dan bahasa tubuhnya ketika ada di dekat Beben. Aku bisa melihat kekaguman pada sosok Beben dari binar mata Santi ketika melihat Beben berbicara, apalagi kalau sedang berbicara di sebuah forum.

"Begitu menurutmu...?" tanya Beben nggak yakin. Hmmm...memang benar-benar nggak peka nih cowok...!
"Kamu nggak inget SMS Santi sesaat setelah kalian putus?"
"SMS yang mana?" Beben mengernyitkan keningnya, mencoba mengingat-ingat SMS yang aku maksud.
"Yang kau tunjukkan padaku waktu kau termehek-mehek diputusin Santi, aku saja masih ingat kata-katanya!"

Beben terdiam. Ia dulu memang tidak menyangka Santi akan minta putus karena ia merasa semuanya baik-baik saja dan ia yakin Santi bisa memahami dia sepenuhnya. Tidak heran kalau ia cukup shock waktu itu.

"Dan kemanakah dirimu ketika hatiku merindukanmu? Kau selalu datang ketika rinduku sudah membeku...Mungkin aku memang harus melepasmu, agar kau tak lagi terbebani oleh rasa rinduku yang selalu menggebu...," aku mengulang kata-kata di SMS Santi dengan penuh perasaan, membuat Beben menangkupkan kedua tangannya ke wajahnya yang tiba-tiba mendung.

"Aku tuh jahat banget ya, Lin...?" tanya Beben pelan.
"Definitely, yes...!" jawabku mantap,tanpa tedeng aling-aling.

Beben menarik napas panjang, ia telungkupkan tubuh kerempengnya di atas bantal besarku. Berbeda dengan kebiasaannya tampil "sangar" di forum-forum diskusi atau saat dulu sering orasi di demo-demo mahasiswa, saat ini ia terlihat begitu rapuh, dan hanya kepada kami sahabat-sahabatnya ia tidak malu menunjukkan kerapuhannya.

"Sudah dua tahun...mungkin Santi sudah punya pacar lagi ya...?" gumam Beben.
"Mungkin saja...atau malah mungkin sudah kawin, punya suami yang jauh lebih perhatian, lebih sayang...punya anak yang lucu...!"
"Oh, Shit...! Sahabat macam apa sih kamu, seneng banget lihat orang menderita!" teriak Beben sambil melempar bantal kecil di sampingnya ke arahku.
"Idiiih, segitunya...aku kan cuma mengungkapkan kemungkinan terburuk, bisa saja sebaliknya kan, Santi ternyata masih cinta banget sama kamu, masih punya rindu yang menggebu seperti dulu?" kataku sambil melempar balik bantal itu ke arahnya.
"Nah...gitu, dong...!"" kata Beben ringan, tangannya mengambil bantal kecil itu dan menyelipkan ke ketiaknya.
"Huaaaaa...nggak mauuuu...ntar bauuuu...!" teriakku, tanganku spontan merebut bantal itu dari Beben. Soalnya aku tahu, kalau lagi suntuk Beben itu punya hobi malas mandi.

Beben terkekeh-kekeh, ia balikkan tubuhnya dan meletakkan kedua tangan di bawah kepalanya.
"Kalau bener Santi belum punya pacar lagi, mau gak ya dia balikan sama aku?" tanya Beben dengan pandangan menerawang, seperti tidak yakin pada dirinya sendiri.
"Kalau aku jadi Santi nih ya...aku bakal minta garansi kalau pengen balik lagi," kataku.
"Idihh...emang beli tipi pake minta garansi?"
"Iya dong...nggak maulah dicuekin kayak dulu lagi. Emang kalau kalian bisa balikan, apa yang pengen kamu lakuin biar Santi nggak pergi lagi?" pancingku.
"Ya, aku bakal bikin dia bahagialah...melakukan apapun yang bisa bikin dia senang, tidak akan membiarkan dia kecewa, tidak boleh ada air mata keluar dari matanya yang indah, kecuali air mata bahagia...," kata Beben mantap.
"Yakin...?" godaku.
"Absolutely, yes...! Aku tidak mau terperosok dua kali dalam lubang yang sama, karena aku bukan keledai...!"
"Tapi...kedelai...!" sambungku. Beben menoleh sambil tersenyum.
"Ya ya ya...kedelai is okay...banyak proteinnya, bagus kan untuk kesehatan hubungan kami? He he he...," Beben terkekeh-kekeh lagi.

Aku memikirkan sebuah rencana untuk Beben dan Santi. Feelingku mengatakan Santi juga masih berharap bisa kembali pada Beben, secara tidak sengaja aku masih sering membaca status-status pesbuknya dan beberapa tulisan di blognya yang menyiratkan kerinduan pada seseorang, aku berharap seseorang itu adalah Beben. Aku akan membantu Beben mengais sepotong rindu yang masih tersembunyi di hati Santi.


"Duuh, repot banget ternyata nggak ada Echy, punya kerjaan baru jadi sopir!" sungut Beben ketika aku memintanya mengantar beli novel Marmut Merah Jambunya Raditya Dika.
"Yah...itung-itung belajar sabar kalau ntar punya pacar lagi!" kataku.
"Kalau aku nyari pacar juga gak bakal nyari cewek manja yang ke mana-mana minta dianterin, harus ditemenin," Beben masih bersungut-sungut sambil merengut kayak marmut.
"Yaelah...gak setiap hari ini...!"belaku sambil tersenyum-senyum penuh arti. Hmmm...kamu bakal nyesel ngomong gitu, Ben...kalau tahu apa yang aku rencanakan buat kamu.

Tidak sulit sebenarnya menemukan novelnya Dika karena sudah tertata rapi di depan pintu masuk Gramedia. Aku bisa saja tinggal mengambilnya, membayarnya di kasir lalu pulang...oh, tentu mentraktir makan Beben dulu biar dia agak sedukit sumringah, tapi aku punya rencana lain.

Mataku mencari-cari, bukan sesuatu tapi seseorang. Dan ketika mataku sudah menangkap sosok itu, aku menyeret Beben.
"Nyari buku tentang tanaman hias dulu, yuuk...Mama kan lagi suka banget berkebun!" ajakku, tidak peduli Beben yang masih merengut keki karena sedang asyik membolak-balik buku di rak.

Aku pura-pura mencari buku tentang tanaman hias, Beben juga ikut membolak-balik buku, tapi tangannya tiba-tiba berhenti, Aku pura-pura mengikuti pandangan matanya pada seseorang.
"Eh, itu kan Santi !?" seruku sok terkejut.
"Santiii...!" panggilku, tidak mempedulikan Beben yang tiba-tiba tubuhnya kaku.
"Hey...Alin, sama si...?" pertanyaan Santi menggantung ketika matanya menangkap sosok Beben.
"Hey, Ben...!" sapa Santi kikuk.
"Hey...apa kabar?" balas Beben tak kalah kikuknya. Hihihi...suka banget lihat Beben mati gaya.
"Kok kurusan?" tanya Santi setelah berhasil menguasai keadaan.
"Habis gak ada yang suka ngingetin makan lagi!" jawab Beben santai, Santi tersenyum-senyum penuh arti. Hmmm...sudah keluar tengilnya tuh cowok!

Diam-diam aku menyingkir, menuju rak tempat novel-novel kesukaanku. Aku tersenyum puas karena misiku berhasil. Sejak perbincangan dengan Beben tempo hari, tanpa sepengetahuannya aku mengumpulkan informasi tentang keadaan Santi saat ini. Setelah yakin bahwa santi memang belum punya pacar lagi, aku menyusun strategi untuk mempertemukan mereka lagi.

Setelah tadi pagi menelepon ke rumah dan Mamanya Santi bilang kalau Santi lagi ke toko buku ini, aku langsung nyamperin Beben ke rumahnya, pura-pura minta dianterin beli novel, memaksanya bangun, nungguin dia mandi (sambil berteriak-teriak agar ia mandi koboi saja!), rela mendengarkan ia bersungut-sungut...and here we are...!

Promise...kalau Beben sudah berhasil mengais sepotong rindu di hati Santi dan ia tidak bisa menjaganya agar tetap berada di situ...tak ke mana...aku tidak akan peduli lagi padanya...meskipun dia jadi jomblowan sepanjang hidupnya! You better keep my words, Ben...!

Sabtu, 22 Mei 2010

SEPERTI MENGGENGGAM PASIR


Hampir seminggu aku tidak bertemu Echy, dia belum mau membalas pesan atau menerima telponku. Sepi. Tidak ada lagi yang nongkrongin aku ngetik sambil membawa gossip-gossip terbaru, dari gossip artis sampe gossip teman-teman jaman SMA dan kuliah , bahkan gossip Kang Eman tukang siomay yang tiap hari lewat depan rumahnya pun Echy tahu. Enak kan, gak perlu nonton infotainment atau ngerumpi ke tetangga sudah dapat gossip yang up to date. Belum lagi bejibun makanan atau camilan yang selalu Echy bawa kalau ke rumah. Soalnya, kalau ia tidak bawa makanan aku suka pura-pura nguap mulu denger dia ngomong, dan itu bikin Echy bete.

Meskipun kadang-kadang norak, Echy adalah sahabat yang sangat menyenangkan. Dan dari semua personil Gesamen, Echylah yang paling lama bersahabat denganku. Di banding yang lain, dengan Echy aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama, terutama nonton, jalan-jalan, belanja...yang fun-fun aja pokoknya. Di tengah beban pekerjaan dan berbagai aktifitas lain yang menghimpitku, having fun bersama sahabat-terutama Echy-adalah hal yang aku butuhkan.

Dan lihatlah aku sekarang tanpa Echy, mengurung diri saja di kamar, baca novel atau mendengarkan musik sambil tidur-tiduran. Sekalinya keluar kamar paling cuma main sama Mimi, kucing kesayangan Mama. Belai-belai bulu Mimi, nyariin kutunya...kurang kerjaan banget kan? Padahal Mimi gak punya kutu karena Mama rajin banget merawat Mimi.

Mama, Papa dan Mas Abiem bukannya tidak tahu "perseteruan" antara aku dan Echy. kemarin aku mendengar Mama menelepon Najma, mungkin sudah merasakan "sesuatu" dari perubahan perilakuku di rumah. Apalagi Echy yang hampir tiap hari ke rumah itu tidak pernah setor muka lagi.

"Mandi gih...! Ih, udah berapa hari sih gak mandi?" goda Mas Abiem melihatku tiduran di sofa sambil nonton tipi. Sebenarnya sih tipinya yang nonton aku karena aku tidak menikmati Nanny 911 yang lagi aku tonton.

Aku cuma melirik Mas Abiem sekilas, tidak berminat membalas godaannya.
"Daripada bengong, mending bantu Mas packing yuk...!"
"Emang mo ke mana lagi sih?" tanyaku malas-malasan.
"Anak-anak ngajakin rafting, ada tempat bagus nih...atau kamu mau ikut?" tanya Mas Abiem dengan mata berbinar, berharap itu akan jadi tawaran yang menggiurkan yang akan membantu menghapus duka laraku saat ini. Tapi maap...aku tidak berminat! Apa enaknya coba, terombang-ambing di arus deras yang penuh bebatuan, di atas perahu karet...apalagi kalau sampai mencicipi "susu coklat" Kali Progo seperti Eka Situmorang itu. Ughgh...mending minum susu coklat beneran, hi hi...

"Nggak mau!" tolakku.
"Atau ditemenin Mbak Nadia mau? Nanti biar dia nginep sini sementara Mas pergi. Ntar Mas kasih duit deh, besok kalian jalan ke mana gitu...nonton atau ke salon biar kamu gak bau, masak kalah wangi sama Mimi...?" Mas Abiem menawarkan opsi lain.

Aku mikir sebentar. Bukan karena mau dikasih duit (itu juga termasuk sih sebenarnya) aku tertarik dengan tawaran itu. Tapi aku ingin menghargai usaha Mas Abiem untuk menghiburku, dan jalan sama Mbak Nadia calon kakak iparku itu selalu mengasyikkan.

"Emang Mbak Nadia nggak sibuk?" tanyaku.
"Enggak...bentar ya aku telpon...!" Mas Abiem mengeluarkan HPnya.
"Beib...aku jemput sekarang ya...ntar malam bisa nginep sini kan? Iya...nemenin Alin...tau tuh, lagi dikucilkan teman-temannya, kudisan kali...ha ha ha...," Mas Abiem tertawa sambil melirikku. Lirikannya kubalas dengan lemparan bantal sofa tepat di mukanya. Ugh, makin girang ia berhasil membuatku keki!

Aku memandangi Mas Abiem yang berjalan ke taman belakang dan masih menelepon Mbak Nadia. Meskipun penampilannya cuek dan terkesan seperti anak jalanan, ia sangat sayang dan perhatian pada keluarga dan kekasihnya. Tidak heran Mbak Nadia betah jadi pacarnya, aku aja betah jadi adiknya...he he... Mereka sudah jalan selama hampir empat tahun dan tidak pernah kulihat mereka bertengkar hebat apalagi sampai putus.

Aaah...betapa menyenangkannya melihat kemesraan orang-orang yang saling mencintai di rumah ini. Mama dan Papa, Mas Abiem dan Mbak Nadia...sedang aku? Tiba-tiba air mata sudah menggenang di mataku dan langsung kusembunyikan di balik bantal sofa. Suara mobil Mas Abiem yang berangkat menjemput Mbak Nadia mengiringi tangisku yang menggugu.

Aku tidak tahu berapa lama tertidur di sofa, tiba-tiba saja samar telingaku menangkap suara-suara yang sangat kukenal dari taman belakang. Aah, rupanya Mbak Nadia sudah datang dan sedang berbincang akrab dengan calon mertuanya, Mama Papaku tercinta.

"Beib...!" panggil Mas Abiem yang keluar dari kamarnya dengan ransel di punggung.
Mbak Nadia menghampiri Mas Abiem, tapi melihatku yang sudah terjaga, ia berbelok menghampiriku dengan senyum khasnya, senyum yang aku yakin selalu menenangkan Mas Abiem.

"Hei...sudah bangun?" sapa Mbak Nadia dari belakang sofa, tangannya yang halus mencubit hidungku.
"Sudah siap bersenang-senang kan? Mumpung nggak ada si Boss...!" bisik Mbak Nadia sambil mengedipkan matanya nakal.
"Siyaaaap...he he....!" balasku dengan mengangkat tangan mengambil posisi hormat grak.

Aku memandangi Mbak Nadia membantu merapikan barang bawaan Mas Abiem, menikmati kemesraan sepasang kekasih yang saling mengasihi, saling memperhatikan, saling mengkhawatirkan, saling menjaga...aah, indahnya...! Tak perlu banyak berkata-kata,bahasa tubuh mereka sudah mencerminkan itu semua.

Selepas Mas Abiem pergi, Mbak Nadia dengan penuh perhatian menawarkan aktifitas yang kira-kira bakal menyenangkanku. Ia sudah lama mengenalku jadi ia menawariku nonton DVD, nyari novel baru atau sekedar jalan-jalan ke Malioboro. Tapi malam ini aku hanya ingin di rumah, ngobrol saja dengan Mbak Nadia di kamar.

Dengan seabreg camilan yang kami beli di minimarket seberang, diiringi Jason Mraz yang gak pernah bikin bosan di kamarku kami ngobrol. Entah kenapa aku selalu punya ketertarikan ngobrol panjang lebar dengan orang-orang yang punya kehidupan cinta yang menyenangkan. Yang selalu jadi "korban"ku adalan Mama, sesekali Papa...kalau Mas Abiem ogah ah, ntar malah diledekin mulu. Hmmm...sekarang calon Nyonya Abiem saja ya yang aku interogasi.

"Mbak Nadia kok betah sih jadi pacarnya Mas Abiem? Kan ditinggal-tinggal mulu...?"tanyaku membuka sesi wawancara.
"Lah...cuma ditinggal bentar ini?"
"Tapi kan sering? Aku aja capek lihatnya, naik turun gunung, arung jeram, jalan ke mana-mana...belum lagi kalau dah kongkow sama gengnya sampai lupa kalau punya rumah," kataku hiperbolis.
"He he...lupa punya pacar juga...!" Mbak Nadia tertawa ringan.
"Nah, itu maksudku...Mbak Nadia gak pernah marah digituin?"
"Yaa..dulu sih suka ngambeg juga," kata Mbak Nadia pelan dengan mata menerawang dan senyum mengembang, mungkin ia sedang mengingat acara ngambegnya dulu.

Mbak Nadia menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidurku, aku meraih si Bubit bantal ijo kesayanganku dan menelungkupkan tubuhku di atasnya, siap mendengarkan "Dongeng Cinta Abiem dan Nadia". Persis seperti anak-anak muda yang mendengar Rose yang sudah jadi Grandma itu menceritakan kisah cintanya bersama Jack di film Titanic.

"Dulu...di awal pacaran, Mbak sering ngambeg juga karena merasa Mas Abiem egois, tidak perhatian dan kadang-kadang seperti tidak berperasaan. Kamu tahu kan Mas Abiem suka pergi seenaknya sendiri, kadang tidak memberi kabar, kadang tidak membalas SMS padahal saat itu Mbak benar-benar mengkhawatirkannya. Tidak jarang Mbak nangis-nangis sendiri kalau lagi kangen sementara Mas Abiem pergi," kata Mbak Nadia sambil menerawang, tangannya memain-mainkan kaki si Gritel, boneka kura-kuraku.

"Mbak sebenarnya bukan tipe kekasih yang butuh perhatian khusus, tapi waktu itu nggak tahu kenapa sempat merasa putus asa dan hampir mau minta putus," kata Mbak Nadia pelan. Ia berhenti sebentar menghela nafas, berusaha mengumpulkan mozaik-mozaik kisah cintanya bersama Mas Abiem.

"Ada dua moment besar, Lin...bisa kukatakan moment-moment itu yang memperkuat cinta kami," pelan Mbak Nadia melanjutkan kisahnya

Mbak Nadia berkisah, bahwa Mas Abiem mulai bisa mengerti dan memahami perasaannya ketika ada sebuah berita tentang pendaki yang tersesat di sebuah gunung yang kebetulan Mas Abiem dan teman-temannya juga berada di sana. Moment kedua adalah ketika Mbak Nadia kecelakaan dan tidak bisa menghubungi Mas Abiem sama sekali karena ia berada di tempat yang jauh di pedalaman dan tidak ada sarana komunikasi selain surat-menyurat.

"Setelah dua moment itu Mas Abiem tiba-tiba berubah. Ia jadi lebih mengerti perasaan Mbak, terutama perasaan khawatir dan takut kehilangan," kata Mbak Nadia dengan suara yang makin pelan. Kuperhatikan ada air bening di kedua matanya yang indah.

Aku mengambil kotak tissue dan mengulurkan beberapa lembar pada Mbak Nadia, juga untukku sendiri karena lagi-lagi aku tidak bisa menahan rasa haru mendengar kisah cinta sepasang anak manusia yang mau berjuang untuk cinta mereka.

"Hey...kenapa ikut nangis? Wah, tahu gitu Mbak nggak mau cerita tadi. Si Boss kan nyuruh Mbak bikin kamu seneng, bukannya nangis?" Mbak Nadia mencubit pipiku.
"Santai aja, Mbak...cuma mikir aja, mungkin gak ya aku bisa sesabar itu kalau punya pacar setipe Mas Abiem? Eh, tapi kayaknya Mas Abiem bukan tipeku deh...hehe...!"
"Mungkin faktor usia juga, Lin...lama-lama kamu juga bakal punya kesabaran seperti itu!"
"Tapi kalau emang dasarnya possesif, sampai tua juga kayaknya bakal cemburuan dan curigaan sama pasangannya deh!" kataku sok yakin.
"Ya memang harus belajar, nggak bisa begitu saja timbul pengertian. Kalau Mbak Nadia belajar dari seseorang tentang teori menggenggam pasir," kata Mbak Nadia.
"Wah, orang pacaran ada teorinya juga ya, apaan tuh maksudnya?" tanyaku heran karena baru pertama kali mendengar teori seperti itu.
"Suka main ke pantai kan? Kalau kamu lagi ke pantai, coba kamu genggam pasir dengan tangan kamu, kalau kau genggam terlalu erat maka akan banyak pasir yang berjatuhan. Sebaliknya kalau kau biasa saja menggenggam pasir itu, hanya menaruhnya di kedua telapak tanganmu, maka pasir itu akan tenang berada di tanganmu dan tidak berjatuhan."
"Terus...?" tanyaku masih bingung.
"Nah, begitu juga dalam menjalin hubungan dengan seseorang, kalau kau terlalu mengikat pasanganmu dengan kecurigaan atau kecemburuan yang berlebihan, ia mungkin akan melepaskan diri darimu. Tapi jika kau beri ia rasa percaya, rasa nyaman ketika berada di dekatmu, bukan tidak mungkin ia akan merasa tenang dan merasa sayang untuk melepaskan diri darimu."

Aku tercenung. Seperti itukah selama ini Mbak Nadia melatih kesabarannya, hingga Mas Abiem selalu merasa nyaman berada di dekatnya? Hmm...teori ini akan aku simpan di baik-baik di memori otakku dan akan aku buka kembali kelak jika ada seseorang yang tidak keberatan mengikat diri denganku, dengan segala keadaanku tentu aku akan berusaha membuatnya nyaman berada di dekatku hingga ia tidak betah lama-lama jauh dariku *halah!*

Jujur, detik ini aku ingin sekali Echy ada di sini, bersamaku mendengar seseorang berkisah tentang bagaimana sulitnya usaha menjaga sebuah hubungan, betapa memahami seseorang yang kita cintai itu butuh waktu yang tidak sebentar.

Aaah, Echy...seandainya kau mau sedikit bersabar mendapatkan hati Pramu, mungkin kita tidak akan begini...tidak akan ada hal konyol seperti ini yang mengacaukan persahabatan kita. Semoga benar kita hanya perlu waktu, dan semoga kelak aku masih punya waktu untuk menceritakan padamu, bagaimana "cara menggenggam pasir" yang baik dan benar.


*Thank You buat seseorang yang mau dipinjam tangannya buat menggenggam pasir di pantai (siapa tahu ntar ada yg berminat menjadikanmu model kayak keponakanmu itu, hehe...), hmmm...mau dong jadi pasirnya...!

Selasa, 29 September 2009

MENGEJAR LAYANG-LAYANG PUTUS

Echy masih mondar-mandir kayak setrikaan (setrika uap lagi, soalnya sambil ngomel-ngomel gak jelas gitu),dengan gaya yang diulang-ulang entah berapa kali aku tidak bisa menghitungnya. Lihatlah, gayanya seperti artis sinetron yang lagi nungguin pacarnya yang gak datang-datang. Tangan memencet-mencet HP, lalu menempelkannya di telinga, memencet-mencet HP lagi lalu sambil menghentak-hentakkan kaki keluarlah umpatan-umpatan kecil dari mulutnya.

Beben yang lagi asyik ngobrol soal KPK sama Alvin dan Najma kelihatannya agak terganggu dengan tingkah Echy, aku sih agak terganggu juga tapi masih bisa menikmati "Perahu Kertas"nya Dee yang sedang aku baca. Dan Echy sepertinya lupa, kalau Beben sedang ngomong politik atau bola, itu artinya tidak boleh ada yang mengganggu.

"Kamu nelpon siapa sih, Chi?" tanya Beben sengit.
"Gak tahu nih, si Pramu dari kemaren ditelpon gak diangkat mulu...!" sahut Echy masih mencet-mencet HP sambil menghentak-hentakkan kaki. Padahal ya, tuh kaki pakai sepatu kebanggaan Echy yang haknya segede gambreng, yang kalau nginjek kaki jempolnya bisa jadi segede biji duren. Duuh...kalau si Mimi kucing kesayangan Mama lewat situ bisa keinjek jadi pindang deh...!

"Si Pramuka lagi kemping kali...!" aku menyahut tanpa mengalihkan mata dari novelku, tapi dari sudut mata sempat kulihat Echy yang merengut keki.
"Dia males ngangkat kali, Chi...habis kamu keseringan nelpon kayaknya," kata Alvin, dalam hati aku iyakan.

Seperti yang pernah aku bilang, aku agak khawatir dengan sikap Pramu ketika pertama kali ketemuan sama Echy. Dan apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Selama hampir dua bulan ini Pramu tidak pernah berinisiatif untuk menelepon atau SMS, seringnya Echy yang SMS atau telpon duluan.

Aku sering bilang sama Echy untuk mengambil sikap tarik ulur seperti orang main layangan itu, tapi dia selalu tidak tahan untuk tidak menelepon atau SMS Pramu. Jadi apa yang dibilang Alvin itu mungkin ada benarnya juga, Pramu jadi malas ngangkat telepon dari Echy.

Dan percaya atau tidak, baru dua kali sejak pertemuan pertama itu mereka ketemu lagi. Itu juga karena Echy yang merengek-rengek ngajakin Pramu ketemuan. Aku nggak tahu, Echy jadi nggak sensi gitu karena telanjur tergila-gila sama Pramu atau ia telanjur malu karena sudah proklamasi ke semua orang bahwa Pramu adalah calon suami-atau istilahnya Echy, lelaki yang dikirimkan Tuhan untuknya.

"Pramu lagi meeting kali, Chi...maklum, orang sibuk kan?" kata Najma berusaha menenangkan Echy.
"Masak jam 6 pagi meeting, jam 12 pas istirahat makan juga gak diangkat, sore jam 5 juga, jam satu pagi...apa dia juga masih meeting?" jawab Echy masih dengan gaya nyolotnya, sekarang plus gaya manyun.
"Hah, niat banget sih kamu ngejar si Pramu? Pantes aja dia males ngangkat, kamu nelpon dia kayak orang neror gitu. Trus kamu telponnya cuma nanya lagi di mana, sudah makan atau belum, lagi sibuk nggak, ya kan?" cerca Beben. You damn right, Ben! Aku yang sering jadi saksi bisu usaha Echy menarik perhatian Beben.

Hmm...saksi bisu? Tidak juga sebenarnya, karena aku tidak bosan-bosannya mengingatkan Echy untuk memikirkan segala kemungkinan agar ia tidak kecewa nantinya kalau Pramu ternyata bukan pasangan hidupnya kelak.

"Ya...namanya juga usaha...," kata Echy pasrah.
"Tapi kira-kira dong, Chi usahanya, kalau salah caranya ntar malah jadi bumerang," kata Alvin. Ada nada kasihan dalam ucapannya.
"Emangnya salah ya, kalau aku pengen menunjukkan perhatian ke Pramu?" tanya Echy pelan.
"Enggak salah, sih Chi...cuma kayaknya si Pramu itu tipe lelaki yang lebih suka mengejar dari pada dikejar, jadi ya...kamu kayaknya musti sabar, jangan terlalu menunjukkan kalau kamu ngebet pengen jadi pacar atau istrinya, ntar dia ilfil lagi...," kata Beben panjang lebar. Tumben dia bisa nasehatin orang dengan suara sepelan itu, mungkin merasa kasihan sama Echy juga.

Aku sendiri juga merasa kasihan. Bayangkan, Echy yang sleepaholic bela-belain melek sampai pagi cuma buat nelpon Pramu. Ya, tapi gimana lagi, kalau Pramu memang ada rasa sama Echy, pasti dia ada usaha buat mendapatkan Echy kan?

Tentang "rasa" ini, aku tahu betul bagaimana perasaan Pramu terhadap Echy. Tapi aku harus mencari waktu yang pas untuk mengatakannya. Suatu saat Echy harus tahu bahwa ia tidak perlu buang-buang waktu dan pikiran untuk mendapatkan cinta Pramu, Echy harus sadar bahwa Pramu tidak layak untuk dikejar karena ia tak beda dengan layang-layang putus yang nyangkut di tiang listrik. Echy harus membiarkan "layang-layang" itu berada di sana tak perlu meraihnya lagi atau bahkan menengoknya lagi, biar saja ia robek diterpa angin atau dibawa terbang merpati yang hobi hinggap di tiang listrik. Dan Echy harus tahu itu segera, nggak pake lama...

Aku membuka lagi SMS yang aku terima tepat jam 12 malam, waktu anak-anak Gesamen (biar gak kepanjangan nyebut Geng Sabar Menanti) sudah pulang...

Jika alam memang bisa berbahasa
Aku ingin purnama di atas Kuta ini
Bisa kau baca dari tempatmu berdiri
Aku menuliskan sebait puisi cinta untukmu di sana


Hmm...puisi-puisi cinta yang sering aku terima yang entah kenapa tak mampu membuat hatiku bergetar ketika membacanya. Hanya seperti membaca tulisan : "Dilarang Merokok" di pom bensin atau "Jagalah Kebersihan" di toilet rumah sakit. Tapi aku juga sengaja tak menghapus SMS-SMS itu.

Echy memencet-mencet HP lagi, tidak peduli aku dan anak-anak Gesamen yang memperhatikannya dalam diam.
"Mail box ya?" tanya Najma pelan. Echy mengangguk-angguk tanpa menengok pada kami sedikit pun.
"Dia gak di sini, Chi...lagi di Bali," kataku, juga dengan suara amat pelan.
"Kok tahu?" kata-kataku sanggup membuat Echy mendongakkan kepalanya.

Aku tidak menjawab, hanya mengulurkan HPku yang sudah kubuka Inboxnya. Echy menerima dengan wajah bingung, lalu tanpa berkedip ia membaca deretan SMS di HPku. Sesekali ia mendongak dengan wajah yang mulai memerah.

"Terus aja baca yang di bawahnya," perintahku. Echy kembali menekuri HPku, kami memperhatikan wajah merahnya yang sekarang ditambah matanya yang mulai berair.

Ini pemandangan yang sudah kami duga, dan kami sudah bersiap menghadapinya. Sengaja Alvin kami perintahkan menjemput Echy,karena kami tahu bagaimana cara Echy menyetir dan kami tidak mau mengambil resiko jika membiarkan Echy pulang menyetir sendiri dalam keadaan marah.

Tiba-tiba Echy berdiri, dengan kasar ia mengembalikan HPku. Dadanya terlihat turun naik, seperti menahan sesuatu dalam dirinya yang siap-siap meledak.

"Pantes ya...kamu bilang sama aku untuk bersikap tarik ulur, dan kamu tidak pernah bersikap mendukung aku sedikit pun untuk mendekati Pramu!" kata Echy dengan napas tersengal-sengal. Matanya nanar menatapku.

Aku terperangah, juga Alvin, Najma dan Beben. Tidak menyangka Echy akan bereaksi seperti itu. Bibirku baru saja hendak mengeluarkan kata-kata pembelaan, tapi Echy tidak memberi kesempatan padaku.

"Gak nyangka ya, Lin...kita sudah bersahabat begitu lama. Tega ya kamu...," kata Echy, suaranya melemah tapi air yang keluar dari matanya semakin deras.
"Chi...aku sengaja menyimpan SMS itu untuk kutunjukkan padamu, aku pengen kamu tahu sendiri bahwa Pramu...,"
"Bahwa Pramu lebih memilih kamu dari pada aku? Bahwa kamu memang lebih menarik dari pada aku?" suara Echy kembali meninggi.
"Bukan gitu, Chi...aku tidak mungkin jatuh cinta sama Pramu...," kataku lemah.
"Sekarang mungkin tidak, tapi hanya perempuan bodoh yang menolak pesona seorang Pramu," kata Echy ketus.
"Dan bagaimana kalau aku memilih jadi perempuan bodoh itu?"
"Kamu gak usah pura-pura deh, Lin...tidak usah merasa tidak enak padaku, tidak usah merasa kasihan padaku...!"
"Chi...kamu salah paham...aku tidak...,"
"Sudahlah, Lin...Alvin, aku mau pulang!" Echy bangkit tanpa mengindahkan kata-kataku.
"Chi...," panggilku sambil bangkit untuk berusaha mencegah Echy, tapi tangan Najma menahanku, matanya memberi isyarat agar aku tidak berkata apa-apa lagi. Beben memberi isyarat agar Alvin segera menyusul Echy.

Hening. Najma dan Beben tidak berkomentar, hanya memperhatikan aku yang terduduk lemas dengan air mata yang sengaja tidak kubendung.
"Kok jadi gini sih?" tanyaku,"Kalian percaya sama aku kan? Kalian percaya kan aku gak mungkin jatuh cinta sama Pramu?"

"Iya, percaya...beri Echy sedikit waktu, kalian hanya perlu waktu...," kata Najma.

Aku mengangguk. Najma dan Beben pamit pulang, mereka tahu saat ini aku hanya ingin sendiri, tidak bersama siapa pun, tidak memikirkan apa pun, bahkan tidak ingin bercakap dengan malam seperti yang biasanya aku lakukan.

Aku yakin sahabat-sahabatku akan membantuku melalui ini semua. Aku percaya pada kebijaksanaan Najma, kedewasaan Alvin dan kemampuan Beben untuk membuat masalah berat menjadi terasa ringan (meskipun kata-katanya sering terdengar "nylekit" tapi selalu ada kebenaran dalam kata-katanya).

Saat ini aku hanya ingin tidur. Tidur yang benar-benar tidur.















Jumat, 12 Juni 2009

HATI YANG TAK PERNAH TUA


Aku masih di kamar, bersiap-siap ke kantor ketika bel rumah berbunyi lalu kudengar percakapan Mama, Papa dan Mas Abiem dengan seseorang. Ramai sekali seperti pasar kaget. Siapa ya, pagi-pagi gini sudah bikin kehebohan? (lebih tepatnya sih sudah bikin Mama heboh, soalnya yang paling rame suara Mama).

Setelah menyambar tas, aku bergegas keluar untuk melepaskan rasa penasaranku. Oalah...ternyata Minto anaknya Pak Sardi, tukang ojek langganan keluarga kami. Pak Sardi itu yang dulu setia mengantar jemput aku sejak SD sampai SMP. Kalau Minto itu yang sekarang sering mengantar Mama ke pasar kalau kebetulan tidak ada orang nganggur di rumah.

"Lin...sini cepet...!" tereak Mama begitu melihatku nongol dari balik pintu, padahal baru kepalaku lho yang nongol. Heran, si Mama jadi lebay gitu kenapa ya?
"Sini...cepet...!" Mama melambai-lambaikan tangannya dengan cepat, seperti orang ketinggalan angkot.
"Pak Sardi mau nikah lagi...!" kata Mama masih dengan nada enam oktafnya.
"Hah, yang bener, Ma?" tanyaku dengan nada tujuh oktaf.
"Bener, Min?" tanyaku pada Minto dengan gaya tak kalah lebay dari Mama.
"Nggih, Mbak Alin. Besok malam Pak Arifin sekeluarga diminta datang untuk mberkahi pernikahan Bapak. Pesennya Bapak, pokoknya Mbak Alin harus datang," kata Minto dengan sopan. Kebiasaannya kalau ngomong sama kami sekeluarga sampai membungkuk-bungkuk kayak orang Jepang gitu.
"Kalo Alin nggak datang, Pak Sardi nggak jadi kawin, gitu?" goda Mas Abiem.
"Ya ndak gitu, Mas Abiem," kata Minto malu-malu.
"Bilang sama Pak Sardi ya, aku pasti datang!" kataku mantap. Padahal aku sudah janji sama anak-anak Geng Sabar Menanti untuk nonton di Amplaz. Aku tidak peduli Echy akan ngamuk-ngamuk, atau Beben akan menuduhku egois soalnya jarang-jarang kita bisa jalan dalam formasi lengkap, biasanya sih ada salah satu, salah dua atau salah tiga yang tidak bisa ikut.

Bukannya aku sok perhatian sama wong cilik seperti Pak Sardi, tapi dia itu seperti orang tua kedua bagiku. Nasehat-nasehatnya sewaktu mengantar jemput sekolah itu masih tersimpan dengan baik di memori otakku.

Aku tidak tahu kenapa waktu kecil aku tidak mau dibonceng tukang ojek lain selain Pak Sardi. Yang aku tahu hanya perasaan nyaman ketika berada dalam boncengannya. Sifat kebapakannya yang membuat aku merasa seperti itu, juga penampilannya yang selalu bersih dan rapi bahkan sedikit wangi.

Untungnya teman-teman Pak Sardi maklum dengan kelakuanku. Kalau aku sudah muncul dari gerbang rumah bersama Mama yang menggandengku, tukang ojek di pangkalan ojek "Sabar Menanti" akan melantunkan koor tanpa komando.

"Di...Sardi...anakmu...!" tereak mereka. Lalu Mama akan menaikkan aku ke boncengan, kemudian berpesan panjang lebar padaku dan pada Pak Sardi. Herannya, Pak Sardi selalu mendengarkan dengan takdzim kata-kata Mamaku sementara aku yang sudah hafal dan bosan mendengarnya berteriak-teriak agar Pak Sardi segera memacu motornya.

Saking senangnya sama Pak Sardi, sejak SD aku selalu mencium tangannya ketika turun dari motor. Itu sebabnya, Devi yang-tidak tahu kenapa-selalu memusuhiku, menyebarkan gossip kalau aku anak tukang ojek. Dan anehnya, aku tidak berminat sedikitpun untuk memukul Devi atau minimal mencubitnya. Aku diam. Kupikir waktu itu, kenapa memangnya kalau anak tukang ojek, apalagi tukang ojeknya sebaik Pak Sardi?

Dan ketika tiga tahun lalu istri Pak Sardi meninggal karena gempa, sementara Pak Sardi sendiri tulang kakinya patah dan rumahnya rata dengan tanah, aku menangis semalaman. Baru setahun belakangan ini Pak Sardi bisa berjalan normal kembali meskipun akhirnya ia tidak bisa narik ojek lagi dan sekarang digantikan Minto, anak keduanya.

Kata Minto, calon istri Pak Sardi seorang janda yang suaminya meninggal karena gempa juga. Mereka bertemu di pusat rehabilitasi korban gempa milik sebuah yayasan. Mungkin karena merasa senasib sepenanggungan ya? Apa yang bisa dilakukan dua hati yang kehilangan tempat berbagi selain saling berbagi?


Pernikahan Pak Sardi dan Bu Murti berlangsung khidmat. Sederhana dan tanpa pesta mengingat usia mereka yang sudah tidak muda. Semua yang hadir terutama anak cucu pasangan ini terlihat bahagia. Tapi...ada seseorang yang tidak kutemui di ruangan ini, juga di luar tadi. Lasmi! Ya, aku belum melihat anak bungsu Pak Sardi itu. Aku mengedarkan pandangan ke ruangan, juga melongok sejauh kepalaku bisa menjangkaunya. Tidak ada!

Aku baru saja hendak bertanya pada salah satu kerabat Pak Sardi ketika telingaku menangkap suara bisik-bisik di belakangku. Aku menajamkan telinga dan naluri berburu gossipku. Sepertinya mereka tetangga Pak Sardi. Dari bisik-bisik tetangga aku tahu kalau Lasmi sengaja pergi dari rumah sejak seminggu sebelum pernikahan itu berlangsung. Kata mereka Lasmi malu karena bapaknya yang sudah punya cucu itu menikah lagi.

Kau bilang malu, Lasmi? Kau belum pernah membaca cerpen "Anak-anakku Yang Tercinta"nya Emha ya? Oh, ya aku lupa, kata Bapakmu kau memang tidak suka membaca. Baiklah, aku bacakan sedikit untukmu : yang namanya hati itu tidaklah pernah tua. Ia tak pernah berusia berapa pun. Pikiran bisa menjadi matang atau tetap mentah, remaja atau dewasa. Tetapi hati hanya tahu membutuhkan hati yang lain sebagai sahabat hidupnya. Tak peduli berapa usianya.

Mungkin kau perlu waktu lama untuk mencernanya, tapi cobalah kau lihat laki-laki tua yang kujumpai ini. Kalau kau lewat jalan ini-dan tentu kau akan melewatinya karena jalan itu ada di dekat rumahmu-kau akan melihat laki-laki tua di dekat lampu merah di sebelah pos polisi itu. Lelaki itu memang tidak menadahkan tangannya untuk meminta-minta. Ia hanya diam di situ mengharapkan siapa saja yang berbelas kasih memberinya makanan atau sedikit uang. Aku hampir menangis ketika melihatnya malam-malam sehabis hujan, ia masih di tempat biasanya, mengunyah roti yang kuberikan dengan lahapnya, dengan giginya yang hampir habis. Mungkin ia kelaparan karena tidak ada orang yang mau berhujan-hujan memberinya makanan atau uang.

Kau tahu Lasmi, setiap kali jalan bareng teman-teman atau keluargaku dan melihat laki-laki tua itu, aku selalu menanyakan apa yg ada di benak mereka ketika melihat laki-laki itu, jawaban mereka hampir seragam.
"Kira-kira, dia masih punya keluarga nggak ya? Anak istrinya ke mana ya?" tanya Echy. Tumben kan, dia yang biasanya gak peduli sama penderitaan orang bisa bertanya dengan nada sedih yang tidak dibuat-buat gitu.
"Mungkin anak-anaknya terlalu sibuk dengan permasalahan hidup mereka masing-masing," tebak Alvin.
"Mama nggak ngebayangin akan mengalami masa tua seperti itu," kata Mama dengan mata berkaca-kaca.

Kau mungkin saat ini merasa masih bisa mengurus bapakmu, tapi Lasmi, kalau suatu saat nanti kau berkeluarga dan kau mulai sibuk dengan berbagai persoalan rumah tangga yang menghimpitmu, apa kau yakin masih bisa menemani bapakmu, menyediakan hatimu untuk mendengarkan suara hatinya? Dan jika sekarang ada seorang perempuan yang mau berbagi hati dengan Bapakmu, bukankah itu akan sedikit mengurangi bebanmu dan membuat Bapakmu lebih bahagia?

Aku tahu Lasmi, kau tidak akan menunggu sampai kau termakan usia atau merasakan kehilangan separuh hatimu untuk merenungkan ini semua.



* Refleksi 3 tahun gempa (di Yogya) dan 35 tahun usiaku (Hmm...tidak terlalu tua kan untuk mendamba sebuah hati sebagai tempat berbagi?)*

Minggu, 31 Mei 2009

TENTANG DERAJAT CINTA ITU

Aku pernah mendengar siaran seorang penyiar radio favoritku di Yogya (sayang sekali dia sudah tidak siaran), katanya-dia mengutip Kahlil Gibran-ada tiga derajat cinta. Yang pertama kau mencintai seseorang karena kelebihan orang itu, yang kedua kau mencintai seseorang meskipun dia punya kekurangan-artinya ada toleransi, dan yang terakhir dan ini derajat yang paling tinggi, kau tidak tahu kenapa mencintai seseorang, kau hanya merasa sayaaaang aja sama dia.

Berdasarkan tiga derajat itu aku mencoba mengamati orang-orang di sekitarku, termasuk derajat keberapa cinta mereka. Yang pertama menjadi korban pengamatanku adalah Najma (lebih tepatnya sih laki-laki di sekeliling Najma). Kalau kau para lelaki membaca deskripsiku tentang Najma, aku jamin kalian akan jatuh cinta setengah mati sama dia. Secara fisik dia cantik, bahkan sangat cantik menurutku, tinggi langsing dengan kulit putih mulus (awas, ada yang mulai ngiler tuh!), dia ramah dan sangat rendah hati, pintar menghargai diri sendiri dan orang lain, pandai membawa diri dan sangat bijaksana. Cowok mana coba yang tidak klepek-klepek berhadapan sama dia...coba tunjuk jari!

Dengan berbagai kelebihannya itu tidak heran banyak lelaki yang mendekatinya. Sejak menjadi sahabatnya waktu masih kuliah dulu, aku sampai tidak bisa menghitung berapa cowok yang sudah proklamasi sama dia, belum lagi yang merayu-rayu aku untuk nyomblangin, itu juga belum termasuk yang menjadi secret admirernya. Dan menurutku cowok-cowok itu termasuk pemilik derajat cinta yang pertama karena mereka kebanyakan tertarik pada Najma karena berbagai kelebihannya. Kalaupun akhirnya ada di antara mereka yang naik jadi derajat kedua atau ketiga aku tidak tahu karena nyatanya tidak ada satu pun di antara mereka yang diterima cintanya oleh Najma. Kau tahu kenapa? Karena Najma masih belum siap mengulang "tragedi cintanya" dengan Ical.

Menurutku, Ical itu cowok paling bodoh sedunia, ya kalau terlalu luas se-Yogya ajalah! Mati-matian dia pedekate ke Najma sampai akhirnya Najma menerima cintanya. Baru Jalan setahun, Ical sudah mulai berubah, sering marah-marah gak jelas dan cemburuannya minta ampun. Harusnya dia tahu dong ya, kalau perempuan sejenis Najma itu memang banyak penggemarnya. Setahuku Najma juga tidak suka tebar pesona, si pesona itu sendiri yang menebar ke mana-mana. Buktinya, kalau kita lagi jalan sering dia itu masih terheran-heran sendiri kalau banyak orang-terutama kaum Adam-yang memperhatikan dirinya (pokoknya beda bangetlah sama Echy yang suka tepe-tepe itu, dan juga beda sama aku yang kadang-kadang merasa sok kecakepan sendiri).
"Lin, gigiku ada seledrinya ya, kok orang itu ngeliatin aku sih?" tanya Najma suatu ketika waktu kita lagi makan di warung soto "Sabar Menanti".
"Bajuku aneh ya?" ini pertanyaan standar Najma kalau lagi jalan ke Mall dan banyak mata laki-laki memperhatikan dirinya.

Tentang Najma dan Ical nantilah suatu saat kalau aku sempat dan kalau aku ingat akan aku ceritakan di bagian tersendiri. Yang bisa aku ceritakan sekarang adalah, aku masih belum mengerti, di mana-mana orang putus itu biasanya karena ada salah satu pihak atau dua-duanya yang tidak bisa menerima kekurangan pasangannya. Lha ini, kenapa justru karena Ical tidak bisa menerima berbagai kelebihan Najma? Kalau begitu, termasuk derajat keberapakah cinta Ical, turun ke derajat nol kah? Kalau kasus yang beginian, kayaknya Kahlil Gibran gak ikut-ikutan deh!

Baiklah, kita akan lanjutkan pengamatanku pada pemilik derajat cinta kedua. Kalau yang ini, banyak banget contohnya, biasanya sih pasangan yang sudah berhasil melewati tahap penyesuaian karakter masing-masing. Mereka sudah bisa mentolerir kelemahan pasangannya, gak cuma mau terima enaknya aja.

Mmm...kayaknya paling enak mengamati orang yang punya banyak kebiasaan jelek kali ya? Kayak Beben misalnya (sori, Ben...bukannya balas dendam karena kebiasaanmu yang suka memojokkan aku!). Santi, mantan pacar Beben itu sebenarnya sudah bisa menerima Beben apa adanya, tapi Bebennya sendiri yang gak pengertian banget. Masak iya sih memanfaatkan "kepasrahan" Santi dengan bersikap seenaknya sendiri?

Kalau kebiasaan "amnesia" laki-laki seperti tidak ingat tanggal ulang tahun atau tanggal jadian sih sudah jadi rahasia umum. Lha kalau Beben itu amnesianya udah kebangetan. Pernah dia nganter Santi kuliah sore dan janji mau jemput, sampai malam dia belum jemput karena lagi asyik main PS sama temen-temennya. Kebayang kan, gimana deg-degannya santi harus nungguin di Fakultas Peternakan yang di UGM itu letaknya paling ujung dan deket sama lembah yang gelap dan sepi yang waktu itu terkenal rawan? Akhirnya Santi harus ngalah pulang minta anter temennya yang kos di Klebengan.

Kalau kejadian seperti itu hanya sekali dua kali sih gak masalah ya, tapi ternyata toleransi Santi juga ada batasnya. Terlalu sering mengalah dengan sikap Beben juga tidak baik untuk kelanjutan hubungan mereka. Kapan dong Beben akan belajar jadi laki-laki yang lebih bertangung jawab? Sementara Santi adalah tipe orang yang cenderung menghindari konflik, gak mau ribut karena masalah-masalah sepele.

Nah, Santi yang pernah mencapai derajat cinta kedua pun akhirnya rela turun ke derajat pertama, kebayang kan betapa susahnya mencapai derajat cinta ketiga? Tentang derajat yang ini, ah...siapa ya korban pengamatanku kali ini? Butuh pengamatan ekstra kayaknya, perlu jeli memperhatikan bahasa tubuh, perlu...

"Lin...kamu denger Mama nggak sih?" suara Mama lembut tapi cukup mengagetkan aku.
"Ya, Ma...?" tanyaku, merasa bersalah karena membiarkan Mama bicara sendiri, kayak di sinetron-sinetron itu.
"Jam segini Papa kok belum pulang ya? Mana hujan lagi...," kata Mama sambil berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar dari balik gorden. Wajah cantiknya terlihat tegang.
"Kenapa gak ditelpon aja, Ma?"
"Sudah, tapi gak aktif...," suara Mama terdengar makin cemas.
"Kali aja baterenya abis, Ma, atau...jangan-jangan dijual Ma, HPnya, hi hi...," kataku berusaha menenangkan Mama.
"Kamu ini...," tegur Mama.

Tiba-tiba muncul ideku untuk interview Mama tentang perasaan cintanya sama Papa. Tentu saja setelah aku menelepon Mas Abiem, kakakku yang lagi keluar untuk lewat jalan yang biasa dilalui Papa, ya biar Mama sedikit tenang.

"Ma...Mama dulu kan dijodohin, kok bisa cinta banget gitu sih sama Papa?"

Mama memandangku lama sekali. Lalu ia tersenyum dan mengulurkan tangannya, isyarat agar aku mendekat ke pelukannya. Ini kebiasaannya kalau lagi pengen ngomong serius atau menceritakan masa lalu.

"Cinta itu seperti tanaman, inget kan kamu pernah nulis cerpen tentang itu? Semua tergantung kita, mau merawat tanaman itu atau membiarkannya kering lalu akhirnya mati," kata Mama mengingatkan aku.
"Ya, kalo itu sih semua orang juga tahu, Ma, dan hampir semua orang bisa melakukannya."
"Nah, kalo kebanyakan orang mendapatkan tanaman yang sudah tumbuh, Mama dan papa ibaratnya cuma dikasih biji, jadi kami harus sabar menunggu biji itu tumbuh, lalu merawatnya sampai akhirnya berbuah. Nah, ini salah satu buahnya yang manis," kata Mama sambil memelukku erat. Ada kehangatan yang mengalir di tubuhku, membuat hatiku dipenuhi perasaan haru.

Ah, Mama...pasti butuh usaha yang luar biasa untuk merawat cinta itu hingga makin dalam, sampai detik ini. Aku tidak yakin punya cukup energi untuk menumbuhkan dan merawat cinta seperti itu jika berada di posisi seperti kalian ketika menikah dulu.

Hampir terlelap aku di pelukan Mama ketika tiba-tiba di antara suara derasnya hujan terdengar suara motor di luar. Itu suara motor Mas Abiem! Mama bergegas keluar, aku menyusul di belakang. Papa dan Mas Abiem yang setengah basah langsung disambut pertanyaan betubi-tubi dari Mama. Dengan sabar Papa menjelaskan kalau mobilnya mogok di Jalan Kusumanegara, lalu batere HPnya memang habis,lalu bla bla bla...aku tidak berminat mendengarkan lagi karena aku sedang asyik mengamati wajah Mama yang lega tapi khawatir dengan keadaan Papa saat ini, takut tubuh yang mulai renta itu jadi sakit karena kehujanan. Aku juga suka melihat wajah Papa yang seakan merasa bersalah karena sudah membuat Mama khawatir. Ah, indahnya...

"Heh, bengong aja! Bikinin kopi panas napa?" tegur Mas Abiem.

Seperti kerbau dicocok pantatnya aku ngeloyor ke dapur. Di tempat ini lagi-lagi aku teringat kebersamaan Mama dan Papa. Ingat saat Mama sakit dan Papa dengan telaten membujuk dan menyuapi Mama.

Jadi ingat nasehat Bang Zaitun untuk Arai yang lagi jatuh cinta sama Zakiah di novel "Maryamah Karpov"nya Andrea Hirata.
"...cukup kau tunjukkan raut muka bahwa kau bersedia menyuapinya nanti jika ia sakit, bersedia menggendongnya ke kamar mandi jika ia sudah renta tak mampu berjalan. Bahwa kau, dengan segenap hatimu, bersedia mengatakan di depannya betapa jelitanya ia, meski wajahnya sudah keriput seperti jeruk purut, dan kau bersedia tetap berada di situ, tak ke mana, di sampingnya selalu, selama empat puluh tahun sekalipun..."

Mataku berkaca-kaca. Detik ini juga, suka atau tidak suka, aku umumkan : Mama Papaku adalah pemilik derajat cinta ketiga, dan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi!

Jumat, 08 Mei 2009

MENIKAHI ORANG YANG DICINTAI, ATAU.....?

Rapat Geng Sabar Menanti kemaren malam memutuskan : aku harus datang ke pernikahan Reza! Hhh...benar-benar keputusan yang aneh! Bukannya aku keberatan datang ke pernikahan Reza, aku hanya sedikit merubah keputusanku untuk tidak datang pas hari H, tapi sebelum atau sesudahnya. Simpel kan? Tapi geng Sabar Menanti itu memang hobi merapatkan hal-hal gak penting, lalu mendiskusikan panjang kali lebar kali tinggi hingga menghasilkan keputusan yang tidak dapat diganggu gugat.

"Kamu tuh kepe-dean banget sih, emangnya berita kamu sama Reza itu sudah masuk infotainment? Orang sekantor kamu aja gak ada yang tau," cerca Beben waktu aku mengatakan alasanku tidak datang pas hari H karena tidak ingin jadi pusat perhatian.

Bukan tanpa alasan kalau aku mengkhawatirkan hal itu. Aku masih ingat waktu mengantar Neva sepupuku datang ke pernikahan Aswin, gebetan Neva. Ceritanya Neva itu ketahuan jatuh cinta berat sama Aswin, tapi ternyata Aswin sudah memutuskan untuk menikah sama Intan, cewek yang juga dikenal baik oleh Neva. Sebenarnya Neva cukup tabah menerima kenyataan (ya iyyaalah...buktinya ia mau datang ke pernikahan mereka kan?), tapi orang-orang di sekelilingnya itu lho yang justru bikin Neva termehek-mehek. Tatapan kasihan dari teman-teman dan sodara-sodara Aswin, belum lagi celetukan-celetukan dengan nada menyindir dari beberapa temannya. Orang lain itu memang kadang lebih hiperbolis dari kita yang punya masalah kan? Duuh, aku jadi kasihan juga sama Neva waktu itu.

"Tenang aja Lin, ntar aku bawain sapu tangan atau handuk sekalian kalo ntar kamu nangis, sama ember-embernya juga boleh, hi hi...," Echy cekikikan sendiri. Dia itu emang paling gak peka sama penderitaan orang.
"Sebenernya Alin itu gak senelangsa yang kalian pikir. Dia cuma mikir, apa yang membuat Reza menikahi Wita, dijodohin sama ortunya atau dia benar-benar mencintai perempuan itu ?" Najma angkat bicara. Aku mulai merasa adem kalo si Bijak itu sudah mulai berfatwa.
"Memang ada bedanya buat kamu, Reza menikahi orang yang dia cintai atau dia akan mencintai orang yang dia nikahi ?" tanya Alvin. Pertanyaannya langsung menohok ke ulu hatiku.
"Memangnya salah kalo Reza itu menikahi orang yang tidak, eh sori...belom ia cintai, sementara orang yang ia cintai tidak pernah peduli pada perasaannya ?" tanya Alvin lagi.
"Iya, orang yang dia cintai kan memang tidak peka, tapi Pekok !" sahut Beben. Pekok itu kata dari Bahasa Jawa yang artinya sama dengan bodoh, dan kata itu kasar sekali menurutku.
"Makanya jadi orang itu kalo jalan lihat ke depan gak usah kebanyakan noleh ke belakang, kesandung baru tau rasa kan? Kege-eran banget tuh si Nino kalo tau kamu tidak bisa melupakan dia!" kata Beben lagi. Biasa, lagaknya sok memberi nasehat tapi sebenarnya ia sedang menyalahkan atau menertawakan kebodohan orang lain.

Aku diam saja seperti pesakitan, berharap ada yang menyelamatkan aku dari berbagai kesaksian yang menyudutkanku.

"Sudahlah, Alin kan memang tidak tahu kalo Reza diam-diam mencintai dia? Mungkin saja Reza juga tidak terlalu jelas mengirimkan sinyal-sinyal cinta, tidak punya keberanian untuk menunjukkan perasaannya ?" bela Najma. Thanks God, dia selalu jadi Dewi Penyelamatku.

"Si Reza tidak berani menyatakan cintanya karena jelas-jelas ia tahu hati Alin cuma buat Nino seorang. Ibarat pintu, hati Alin itu sudah dikunci rapat, trus kuncinya ditaruh di kotak yang terkunci lalu kotak itu disimpan di lemari yang juga dikunci," Beben masih bersikeras menyalahkan aku. Hmm...lebay...lebay...
"Apa perlu kita panggil Reza ke sini buat klarifikasi, kenapa dia tiba-tiba memutuskan untuk menikah justru setelah ia proklamasi ke Alin ?" usul Echy serius, membuat semua menoleh keki ke arahnya.
"Echy Sayang...kalo kau mengkritisi atau menganalisa kebijakan pemerintah, kau tidak perlu memanggil presiden ke sini kan ?" kata Alvin sabar.
"Ya enggaklah, memangnya Reza ngundang presiden ke kawinannya? He he...ada-ada aja....!" Echy mengibaskan tangannya sambil tertawa geli. Beben ngakak habis. Alvin menggaruk-garuk kepalanya yang emang gatal (maklum dia baru saja mendarat waktu dikabari rapat koordinasi ini jadi belom sempat mandi).

"Vin, kamu mau tau, apa bedanya buat aku, Reza menikahi perempuan yang ia cintai atau dia akan mencintai perempuan yang ia nikahi?" tanyaku sambil menegakkan badan. Alvin juga menegakkan badan, pertanda ia siap mendengarkan pembelaanku.
"Kalo Reza menikah dengan perempuan yang ia cintai, setidaknya aku tidak akan menyalahkan diriku sendiri. Tapi kalo Reza menikah bukan atas dasar cinta, aku akan merasa bersalah karena aku punya andil untuk membuat Reza berada di posisi itu," kataku.

Alvin diam, tangannya menggaruk-garuk dagu pertanda ia lagi kegatelan, eh...lagi mikir. Semuanya diam, aku berharap itu pertanda mereka bisa menerima pembelaanku dan mengijinkan aku tidak datang pas hari H di pernikahan Reza.

"Nah, itu dia! Hukum Karma sedang menimpa dirimu. Karena tidak mempedulikan perasaan Reza, kamu akan dihantui perasaan bersalah sepanjang hidupmu. Karena itu kau harus menebusnya dengan datang ke pernikahan Reza!" suara Beben memecah kesunyian.

Heran ya, ada orang yang begitu hobi menyalahkan orang yang sudah merasa dirinya bersalah? Terus, apa hubungannya coba, menebus dosa dengan datang ke pernikahan Reza ? Memangnya segampang itu "Hukum Karma" bisa dihilangkan ?

"Kalo menurutku sih, Lin, kamu memang harus datang ke pernikahan Reza. Bagaimanapun Reza juga sudah tau kalo kamu mulai jatuh cinta sama dia. Jangan sampe Reza juga merasa bersalah sama kamu, mungkin saja memang ada sebuah alasan yang tidak bisa ia elakkan," kata Najma sungguh-sungguh.

Nah, begini cara membujuk orang yang paling tepat! Ada alasan yang masuk akal, yang bikin aku bisa mikir baik buruknya keputusan yang akan aku ambil. Buktinya, aku langsung mengangguk takdzim pada petuah sahabatku ini.

"Nah, gitu dong...siapa tau ntar di kawinannya Reza kamu ketemu jodoh!" seru Echy girang. Hmm...ini lagi! Eh, tapi siapa tau ya, he he...*ngarep*


Aku memandangi lukisan bunga Flamboyan yang sudah kusempurnakan. Lukisan ini aku buat hanya semalam, tepatnya ketika aku menangis semalam (pinjam lagunya Audy, hiks hiks...)setelah pertemuanku dengan Reza. Sebenarnya lukisan itu hanya ingin aku pajang sendiri di kamar, tapi seminggu kemudian aku berubah pikiran, aku ingin memberikannya pada Reza sebagai kado pernikahan.

Setelah selesai membungkus lukisan itu tidak sadar tanganku meraih undangan pernikahan Reza. Berbagai pertanyaan kembali berkecamuk di benakku. Kenapa secepat itu Reza memutuskan untuk menikah? Apakah ia dijodohkan? Apakah ibunya seperti Tante Firza yang rajin mencarikan jodoh untuk anaknya? Najma bilang mungkin ada sebuah alasan, aku harap begitu.

Aku menarik napas panjang. Setidaknya ungkapan cinta Reza tempo hari sudah membuka pintu hatiku. Memang bukan Reza yang akan bersemayam di sana, tapi setidaknya pintu itu sudah terbuka dan aku tidak akan menutupnya kembali sebelum seseorang yang tulus mencintaiku memasukinya. (Hmmm...klise nggak sih ?)

More Than Wordsnya Extreme mendayu-dayu di HPku. Ada SMS masuk. Siapa sih yang insomnia kayak aku, lewat tengah malam masih SMS ini ? Males-malesan aku meraih HP di samping tempat tidur. SMS dari Reza!

Lin, aku bisa ngerti kl kamu tdk mau dtg ke pernikahanku.
Yg penting do'anya ya, semoga semuanya lancar, dan yg
lbh penting smg kamu cepet nyusul ya...

Aku tersenyum. Ah, Reza...kamu masih begitu peduli pada perasaanku. Cepat-cepat aku membalas SMS Reza.

Re, bgmn mgkn aku tdk mau dtg ke pernikahan seseorg yg sdh membuka pintu hatiku? Seseorang yg sdh bs membuat aku menertawakan kebodohanku sendiri? Kl bsk kau melihatku menangis, itu krn aku bahagia melihatmu di sana

Tidak tahu kenapa, aku betul-betul seperti merasakan kebahagiaan orang yang akan menemui peristiwa bahagia.

Kau tdk marah padaku kan? Aku yg pengecut karena tidak berani mengungkapkan perasaanku dr dl. kau tahu, tepat ktk aku mengatakan cinta padamu, saat itulah genap usiaku 31 th dan itu batas wkt yg kujanjikan pada Ibu utk melupakan kamu dan menerima perempuan pilihan ibuku.

Aku terhenyak. Jadi benar dugaan Najma, pasti ada alasan yang tidak terelakkan. Dan siapa yang sanggup mengelak pada janjinya sendiri, apalagi janji yang diucapkan di hadapan Sang Bunda? Aku tidak cukup mengenal Tante Marini-ibunya Reza- tapi aku tahu ia perempuan yang hebat, single parent yang berjuang keras mengentaskan keempat anaknya.

Re, kl aku marah, itu artinya aku marah sama Tuhan kan?
Kau pasti tahu, mencintai dan memiliki itu dua hal yg berbeda. Memang kt semua ingin memiliki seseorg yg kt cintai, tp kt tdk tahu skenario hdp kt kan ?
(cie...aku sok Yes ya? He he...)

Ada perasaan lega yg entah datang dari mana ketika aku membaca dan membalas SMS Reza.

Bkn sok Yes, km memang Yes kok, he he...(mumpung msh bs nggombal nih...)
Makasih Lin, aku yakin bisa mencintai perempuan yg akan jd milikku ini. Met tidur ya...bsk dandan yg cantik (he he...nggombal lagi!)

Aku senyum-senyum sendiri. Aku percaya Reza sungguh-sungguh. Meskipun tidak bisa menikah dengan perempuan yang ia cintai, aku yakin ia bisa mencintai Wita, perempuan yang besok ia nikahi.

Aku meletakkan kembali HP di meja, tapi mataku tidak mau juga terpejam. yang terpikir di benakku, kalau sampai beberapa tahun ke depan aku belum menemukan atau dipertemukan dengan laki-laki yang aku cintai, lalu Mamaku ketularan Tante Firza yang hobi mencarikan jodoh untuk anaknya, lalu aku harus menikah dengan laki-laki yang...hua...aku tidak sanggup membayangkan! Aku menutup mataku dengan bantal.

Extreme mendayu-dayu lagi. Reza, kamu tidak akan membatalkan pernikahan besok karena SMS kita tadi kan ? Please...kamu kan harus kelihatan segar besok pagi, kenapa masih juga terjaga sepagi ini?

Malas-malasan aku meraih HP. SMS dari Echy...! Kenapa lagi tuh anak jadi ikut-ikutan insomnia ? Dia kan paling gak bisa nahan kantuk, agak-agak sleepaholic malah.

Lin, aku lupa...sepatuku yg putih kan udah jelek bngt, pdhl bsk aku mo pake gaun baby pink sm tas putih yg kt beli kmrn? bsk msh smpt mampir gak ya nyari sepatu?

Aku langsung mematikan HP sebelum Echy menelponku (kebiasaannya yang gak sabaran itu adalah menelepon orang yang kelamaan balas SMS). Tiba-tiba penyakit insomniaku hilang dan aku langsung memeluk guling dengan syahdunya.

Rabu, 08 April 2009

INI JAMAN SITI NURHALIZA TAUUUK...!

"Lin, aku mo dikawinin!"
Aku diam saja, masih asyik dengan "Penalabirin" di laptopku.
"Lin...kamu denger nggak sih?" bentak Echy.
"Denger, jangan kawatir!" kataku tanpa mengalihkan mata dari blog Ezrasatya Mayo itu. Hmm...si Echy gak tau sih kalo baca blognya Ezra itu perlu konsentrasi tinggi. Untuk pemilik kecerdasan yang cuma rata-rata kayak aku ini musti berulang-ulang baca tulisan Ezra yang penuh analogi itu. Lagian bukan sekali ini aja Echy mau dikawinin, lihat saja pasti nanti ada perdebatan panjang soal perjodohan ini.
"Lin...kok kamu diem aja sih?" cerca Echy mulai bete.
"Terus aku musti ngapain? Tereak...? Oke, aku tereak nih, aaaaaaa....!"
Buk! Sebuah bantal mendarat dengan mulus di mukaku.
"Aliiin...serius dong...!" tereak Echy.
"Oke, sekarang cowok ganteng mana yang mau dikenalin sama kamu itu?" tanyaku sabar. Ngomong sama si Bontot ini emang musti ati-ati biar dia kagak nyolot melulu.
"Cowok ganteng? Emang kamu tau kalo dia ganteng? Kalo tajir iya, kamu tau kan selera Mamaku?" Tuh kan, udah dibaek-baekin masih nyolot juga?
Heran ya...gak ada capek-capeknya Tante Firza-Mamanya Echy-mencarikan calon suami untuk Echy, padahal tidak ada satupun yang berkenan di hati Tuan Putri itu. Kalo tidak salah hitung, dalam setahun belakangan ini saja sudah ada 4 laki-laki yang dikenalkan ke Echy. Banyak juga ya stock Tante Firza?
"Harusnya kamu bersyukur dong punya Mama kayak Tante Firza itu, mau bersusah payah mencarikan calon suami untuk kamu!"
"Please deh...ini kan bukan jaman Siti Nurbaya, ini jaman Siti Nurhaliza tauuuk...!"
"Apa bedanya? Dijodohin atau nggak, tetep ujung-ujungnya kawin kan? Jodoh tuh kayak maut, Chi...banyak jalannya, siapa tau jalan jodoh kamu ya diketemuin lewat Tante Firza?"
"Kamu kok malah ngebelain Mama sih?" Hmm...nyolot lagi, nyolot lagi! Kayaknya si Echy nih kalo nulis biodata, di kolom Hobby harus ditulis : NYOLOT!
"Bukan ngebelain, Chi. Faktanya mereka yang dijodohin gak berarti perkawinannya tidak bahagia kan? Jangan salah, Mamaku dulu juga dijodohin sama Papa, tapi kamu lihat kan mereka bisa memproduksi anak sekeren ini? Masih mesra lagi sampe sekarang, seingatku mereka gak pernah ribut, ya...kalo ribut-ribut kecil sih wajarlah."
"Tapi tetep aja judulnya dijodohin, jadi kita gak milih sendiri. Beli baju aja kita lebih enak pilih sendiri yang sesuai selera kita, gak dibeliin gitu aja," kata Echy gak mau kalah. Si keras kepala ini emang gak bisa dibantah, cocok deh jadi komandan, ya minimal komandan upacara lah !
"Lah, buktinya sampe sekarang gak bisa nyari sendiri?" aku melancarkan serangan yang kira-kira bikin dia skak mat.
"Bukan gak bisa, belom nemu yang cocok aja. Emang situ juga udah dapet pengganti Nino, belom juga kan?" cibir Echy. Gini nih kalo udah molai kalah debat, suka keluar dari konteks, biasa...jaga gengsi!
"Hellow...kita lagi ngomongin masalah siapa sih? Udahlah, temuin aja tuh calon suami kamu, siapa tau kali ini berjodoh, positif thinking aja," kataku akhirnya. Capek berdebat, dan sebenernya pengen cepet-cepet melanjutkan blogwalking yang tertunda.
"Lin, besok gak ada acara kan? Temenin ya ketemu sama Pramu...," Echy mulai merajuk. Jadwal harianku memang tertempel di depan meja kerja jadi Echy pasti tau kalo Sabtu ini aku tidak ada acara penting.
"Pramu? Siapa tuh?" tanyaku bingung.
"Ya cowok yang mau dikenalin itu, Cumi...!" tereak Echy gemas. Dia suka memanggilku Cumi alias Cucah Mikir kalo aku mulai gak konek ngobrol sama dia.
"Oh, namanya Pramu? Ngobrol dong dari tadi! Pasti nama panjangnya Pramuka!" kataku asal.
Tak! Sebiji kacang atom mendarat di kepalaku. Wah, molai KDRT nih...Kekerasan Di Rumah Tante Tinuk (He he...Tante Tinuk itu Mamaku!)
"Kenapa mesti ditemenin sih, dan kenapa musti aku? Sama Najma aja, atau Beben deh...," tolakku menawarkan dua anggota Geng Sabar Menanti yang kelihatannya tidak terlalu sibuk. Kalo Alvin sih keluar kota melulu.
"Najma kan ada workshop sampe Minggu? Kalo Beben, ogah...dia pasti akan menghina aku habis-habisan kalo ternyata tuh cowok ancur banget. Please...temenin ya?" Echy memegang tanganku seperti Pangeran meminta Sang Putri untuk menikah. Hmm, kalo sudah begini dia pasti akan mengeluarkan segala rayuannya, dan tentu saja sedikit sogokan.
"Aku beliin coklat yang banyak deh...kamu kan sekarang lagi suka banget sama coklat?" Tuuh kan...!
"Oke deh, aku temenin," kataku males-malesan. Bukan demi coklat ya, tapi demi ketenangan diriku sendiri, karena kalo aku belom bilang oke, Echy pasti akan nongkrongin aku sampe malam sambil terus merajuk-rajuk dan akan terus menaikkan tawarannya, kayak Kuis Deal or No Deal di tipi itu. Biasanya kalo Echy mulai merajuk-rajuk, aku sedikit jual mahal biar dia menaikkan tawarannya sampai ke tawaran yang paling menggiurkan,baru aku bilang : DEAL! Yah, sedikit oportunis sih, hi hi...

Sabtu sore yang cukup nyaman sebenarnya, mengingat Yogya yang sekarang makin panas, tapi entahlah aku tidak terlalu bersemangat menyambutnya. Mungkin karena aku harus menemani Echy ketemuan sama Pramu.Hal yang paling tidak aku sukai karena aku malas kalo aku harus memberikan opiniku tentang cowok itu. Menilai seseorang yang baru saja kita temui? Rasanya seperti jadi juri pemilihan Cover Boy atau Man of The Year. Menyebalkan!

Akhirnya kami The Ogah Girls (cewek ogah-ogahan maksudnya, he he...) berangkat ke Ambarukmo Plaza, tempat janjian Echy dan Pramu. Musik RAN yang menghentak-hentak di mobil Echy tidak mampu membangkitkan semangatku dan Echy. Apalagi waktu harus muter-muter di area parkir yang penuh, Echy sampe kumat hobi nyolotnya.
"Bantuin dong nyari si Pramuka. Nih...!" Echy mengangsurkan hapenya sebelum ia keluar dari mobil.

Ugh! Tante Firza itu nyusahin aja, kenapa selalu gak mau nunjukin foto cowok-cowok yang mau dikenalin ke Echy. Udah jaman Facebook ini, kenapa ya mereka gak disuruh kenalan dulu di situs pertemanan kayak gitu? Dipikir-pikir, asyik juga sih kenalan pake cara "tradisional" seperti ini? Deg-degannya lebih terasa, ya...tapi tetep aja nyusahin!

Aku membaca SMS dari Pramu keras-keras, langkah gontai Echy pun langsung menuju ke sebuah coffee shop di Amplaz. Kami celingak-celinguk mencari sosok yang digambarkan lewat SMS itu. Rambut cepak, pake jeans plus T-Shirt merah bertuliskan Manchester United, duduk di po...

Duk! Tiba-tiba Echy menjerit karena kakinya terantuk meja. Rupanya ia sudah berhasil menemukan Pramu dan matanya tidak sanggup berkedip. Aku juga berhenti membaca SMS karena cowok itu mendengar jeritan Echy dan langsung mendongakkan kepalanya yang sedari tadi asyik menekuri laptop.

Dug! Kali ini giliran jantungku yang berdegup kencang karena cowok yang kemungkinan besar Pramu itu berdiri sambil tersenyum. Aku menyenggol lengan Echy yang tiba-tiba kaku. Kami menghampiri cowok itu dan...duk! sekali lagi kaki Echy terantuk meja.
"Echy ya?" cowok itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya...kepadaku! Matanya yang tajam juga menatapku lekat-lekat.
"Oh...saya Alin, temennya Echy," aku menyambut uluran tangannya,"Ini...Echy! sekali lagi aku menyenggol Echy yang masih mematung dengan mulut sedikit terbuka.
"Hallo...Mas...Pramu ya?" sapa Echy dengan senyum manisnya. Sumpah, ini senyum terindah Echy yang pernah aku lihat!
"Oh...yang ini Echy?" Pramu sedikit menurunkan volume suaranya.Oh yang keluar dari mulutnya itu lho, nadanya gimanaaa gitu! Tapi kelihatannya Echy tidak terlalu memperhatikan, saking terpananya pada sosok Pramu.
"Alin temen kuliah Echy?" tanya Pramu kepadaku, dengan tatapan yang masih lekat. Aku jadi jengah!
"Bukan, sahabat sejak SMA, ya kan, Chi?" aku menoleh ke arah Echy yang masih terbengong-bengong. Echy cuma mengangguk-angguk kayak Dakocan.
"Wah, hebat ya kalian bisa bersahabat begitu lama. Alin kerja di ma...,"
"Eh, sori...hampir lupa! Aku kan mo nyari kado buat nikahannya Reza, Chi. Aku tinggal sebentar ya, ntar kalo dah selesai ngobrolnya, telpon aku! Ma'af Mas Pramu, titip Echy bentar ya...eh lama juga gak papa kok!" kataku buru-buru sebelum Echy menyadari kalo Pramu tidak terlalu memperhatikan dirinya.

Ughgh! Aku menghempaskan napas kuat-kuat setelah berlalu meninggalkan Echy dan Pramu. Kenapa si Pramuka itu jadi nanya-nanya tentang aku, bukannya dia tau kalo yang mo dijodohin sama dia itu Echy? Ah,bodo...yang penting sekarang aku bisa ngadem di Gramedia. Lumayan bisa numpang baca sambil nyari novel baru. Aku tadi bohong sama mereka, aku gak nyari kado karena aku udah nyiapin lukisan buat Reza.

"Ya ampun, Lin...akhirnya Mama bisa ngerti juga seleraku. Pramu itu gabungan antara selera Mama dan seleraku. Hmmm...perfect!" kata Echy ketika kami sudah di dalam mobil. Berbeda dengan ketika berangkat tadi, kali ini wajah Echy berseri-seri. Lihatlah gaya bicaranya yang ekspresif, lengkap dengan tangan dan tubuhnya yang bergoyang ke sana kemari. Mengingatkan aku pada gaya Chef perempuan seksi di tipi yang lagi naik daun.
"Kenapa ya gak dari kemaren-kemaren Mama ngenalin aku sama Pramu? Kalo dari tahun lalu, mungkin aku sama Pramu dah punya anak kali ya, he he...," Echy terkekeh-kekeh sendiri.
"Kayaknya bakal ada yang lulus nih dari Geng Sabar Menanti," kataku berlagak sedih.
"Yah, kita semua ntar juga pasti jadi alumni Geng Sabar Menanti kan?"
"Tapi kayaknya kemaren ada yang bilang ini Jaman Siti Nurhaliza, siapa ya yang bilang gitu...?" sindirku sambil pura-pura mikir.
"Alin, please... gak boleh liat orang seneng deh! Kalo sama Pramu sih, aku rela kembali ke Jaman Siti Nurbaya," kata Echy dengan senyum yang semakin lebar.

Aku ikut tersenyum, meskipun ada sesuatu pada diri Pramu yang aku khawatirkan, tapi aku tidak sanggup mengatakan opiniku pada Echy-apalagi ia tidak meminta seperti sebelum-sebelumnya kalo ia dikenalkan pada seseorang. Mungkin karena Echy begitu terpesona pada sosok Pramu. Aku tidak mau merusak kebahagiaan sahabatku ini, setidaknya untuk saat ini...