Sabtu, 22 Mei 2010

SEPERTI MENGGENGGAM PASIR


Hampir seminggu aku tidak bertemu Echy, dia belum mau membalas pesan atau menerima telponku. Sepi. Tidak ada lagi yang nongkrongin aku ngetik sambil membawa gossip-gossip terbaru, dari gossip artis sampe gossip teman-teman jaman SMA dan kuliah , bahkan gossip Kang Eman tukang siomay yang tiap hari lewat depan rumahnya pun Echy tahu. Enak kan, gak perlu nonton infotainment atau ngerumpi ke tetangga sudah dapat gossip yang up to date. Belum lagi bejibun makanan atau camilan yang selalu Echy bawa kalau ke rumah. Soalnya, kalau ia tidak bawa makanan aku suka pura-pura nguap mulu denger dia ngomong, dan itu bikin Echy bete.

Meskipun kadang-kadang norak, Echy adalah sahabat yang sangat menyenangkan. Dan dari semua personil Gesamen, Echylah yang paling lama bersahabat denganku. Di banding yang lain, dengan Echy aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama, terutama nonton, jalan-jalan, belanja...yang fun-fun aja pokoknya. Di tengah beban pekerjaan dan berbagai aktifitas lain yang menghimpitku, having fun bersama sahabat-terutama Echy-adalah hal yang aku butuhkan.

Dan lihatlah aku sekarang tanpa Echy, mengurung diri saja di kamar, baca novel atau mendengarkan musik sambil tidur-tiduran. Sekalinya keluar kamar paling cuma main sama Mimi, kucing kesayangan Mama. Belai-belai bulu Mimi, nyariin kutunya...kurang kerjaan banget kan? Padahal Mimi gak punya kutu karena Mama rajin banget merawat Mimi.

Mama, Papa dan Mas Abiem bukannya tidak tahu "perseteruan" antara aku dan Echy. kemarin aku mendengar Mama menelepon Najma, mungkin sudah merasakan "sesuatu" dari perubahan perilakuku di rumah. Apalagi Echy yang hampir tiap hari ke rumah itu tidak pernah setor muka lagi.

"Mandi gih...! Ih, udah berapa hari sih gak mandi?" goda Mas Abiem melihatku tiduran di sofa sambil nonton tipi. Sebenarnya sih tipinya yang nonton aku karena aku tidak menikmati Nanny 911 yang lagi aku tonton.

Aku cuma melirik Mas Abiem sekilas, tidak berminat membalas godaannya.
"Daripada bengong, mending bantu Mas packing yuk...!"
"Emang mo ke mana lagi sih?" tanyaku malas-malasan.
"Anak-anak ngajakin rafting, ada tempat bagus nih...atau kamu mau ikut?" tanya Mas Abiem dengan mata berbinar, berharap itu akan jadi tawaran yang menggiurkan yang akan membantu menghapus duka laraku saat ini. Tapi maap...aku tidak berminat! Apa enaknya coba, terombang-ambing di arus deras yang penuh bebatuan, di atas perahu karet...apalagi kalau sampai mencicipi "susu coklat" Kali Progo seperti Eka Situmorang itu. Ughgh...mending minum susu coklat beneran, hi hi...

"Nggak mau!" tolakku.
"Atau ditemenin Mbak Nadia mau? Nanti biar dia nginep sini sementara Mas pergi. Ntar Mas kasih duit deh, besok kalian jalan ke mana gitu...nonton atau ke salon biar kamu gak bau, masak kalah wangi sama Mimi...?" Mas Abiem menawarkan opsi lain.

Aku mikir sebentar. Bukan karena mau dikasih duit (itu juga termasuk sih sebenarnya) aku tertarik dengan tawaran itu. Tapi aku ingin menghargai usaha Mas Abiem untuk menghiburku, dan jalan sama Mbak Nadia calon kakak iparku itu selalu mengasyikkan.

"Emang Mbak Nadia nggak sibuk?" tanyaku.
"Enggak...bentar ya aku telpon...!" Mas Abiem mengeluarkan HPnya.
"Beib...aku jemput sekarang ya...ntar malam bisa nginep sini kan? Iya...nemenin Alin...tau tuh, lagi dikucilkan teman-temannya, kudisan kali...ha ha ha...," Mas Abiem tertawa sambil melirikku. Lirikannya kubalas dengan lemparan bantal sofa tepat di mukanya. Ugh, makin girang ia berhasil membuatku keki!

Aku memandangi Mas Abiem yang berjalan ke taman belakang dan masih menelepon Mbak Nadia. Meskipun penampilannya cuek dan terkesan seperti anak jalanan, ia sangat sayang dan perhatian pada keluarga dan kekasihnya. Tidak heran Mbak Nadia betah jadi pacarnya, aku aja betah jadi adiknya...he he... Mereka sudah jalan selama hampir empat tahun dan tidak pernah kulihat mereka bertengkar hebat apalagi sampai putus.

Aaah...betapa menyenangkannya melihat kemesraan orang-orang yang saling mencintai di rumah ini. Mama dan Papa, Mas Abiem dan Mbak Nadia...sedang aku? Tiba-tiba air mata sudah menggenang di mataku dan langsung kusembunyikan di balik bantal sofa. Suara mobil Mas Abiem yang berangkat menjemput Mbak Nadia mengiringi tangisku yang menggugu.

Aku tidak tahu berapa lama tertidur di sofa, tiba-tiba saja samar telingaku menangkap suara-suara yang sangat kukenal dari taman belakang. Aah, rupanya Mbak Nadia sudah datang dan sedang berbincang akrab dengan calon mertuanya, Mama Papaku tercinta.

"Beib...!" panggil Mas Abiem yang keluar dari kamarnya dengan ransel di punggung.
Mbak Nadia menghampiri Mas Abiem, tapi melihatku yang sudah terjaga, ia berbelok menghampiriku dengan senyum khasnya, senyum yang aku yakin selalu menenangkan Mas Abiem.

"Hei...sudah bangun?" sapa Mbak Nadia dari belakang sofa, tangannya yang halus mencubit hidungku.
"Sudah siap bersenang-senang kan? Mumpung nggak ada si Boss...!" bisik Mbak Nadia sambil mengedipkan matanya nakal.
"Siyaaaap...he he....!" balasku dengan mengangkat tangan mengambil posisi hormat grak.

Aku memandangi Mbak Nadia membantu merapikan barang bawaan Mas Abiem, menikmati kemesraan sepasang kekasih yang saling mengasihi, saling memperhatikan, saling mengkhawatirkan, saling menjaga...aah, indahnya...! Tak perlu banyak berkata-kata,bahasa tubuh mereka sudah mencerminkan itu semua.

Selepas Mas Abiem pergi, Mbak Nadia dengan penuh perhatian menawarkan aktifitas yang kira-kira bakal menyenangkanku. Ia sudah lama mengenalku jadi ia menawariku nonton DVD, nyari novel baru atau sekedar jalan-jalan ke Malioboro. Tapi malam ini aku hanya ingin di rumah, ngobrol saja dengan Mbak Nadia di kamar.

Dengan seabreg camilan yang kami beli di minimarket seberang, diiringi Jason Mraz yang gak pernah bikin bosan di kamarku kami ngobrol. Entah kenapa aku selalu punya ketertarikan ngobrol panjang lebar dengan orang-orang yang punya kehidupan cinta yang menyenangkan. Yang selalu jadi "korban"ku adalan Mama, sesekali Papa...kalau Mas Abiem ogah ah, ntar malah diledekin mulu. Hmmm...sekarang calon Nyonya Abiem saja ya yang aku interogasi.

"Mbak Nadia kok betah sih jadi pacarnya Mas Abiem? Kan ditinggal-tinggal mulu...?"tanyaku membuka sesi wawancara.
"Lah...cuma ditinggal bentar ini?"
"Tapi kan sering? Aku aja capek lihatnya, naik turun gunung, arung jeram, jalan ke mana-mana...belum lagi kalau dah kongkow sama gengnya sampai lupa kalau punya rumah," kataku hiperbolis.
"He he...lupa punya pacar juga...!" Mbak Nadia tertawa ringan.
"Nah, itu maksudku...Mbak Nadia gak pernah marah digituin?"
"Yaa..dulu sih suka ngambeg juga," kata Mbak Nadia pelan dengan mata menerawang dan senyum mengembang, mungkin ia sedang mengingat acara ngambegnya dulu.

Mbak Nadia menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidurku, aku meraih si Bubit bantal ijo kesayanganku dan menelungkupkan tubuhku di atasnya, siap mendengarkan "Dongeng Cinta Abiem dan Nadia". Persis seperti anak-anak muda yang mendengar Rose yang sudah jadi Grandma itu menceritakan kisah cintanya bersama Jack di film Titanic.

"Dulu...di awal pacaran, Mbak sering ngambeg juga karena merasa Mas Abiem egois, tidak perhatian dan kadang-kadang seperti tidak berperasaan. Kamu tahu kan Mas Abiem suka pergi seenaknya sendiri, kadang tidak memberi kabar, kadang tidak membalas SMS padahal saat itu Mbak benar-benar mengkhawatirkannya. Tidak jarang Mbak nangis-nangis sendiri kalau lagi kangen sementara Mas Abiem pergi," kata Mbak Nadia sambil menerawang, tangannya memain-mainkan kaki si Gritel, boneka kura-kuraku.

"Mbak sebenarnya bukan tipe kekasih yang butuh perhatian khusus, tapi waktu itu nggak tahu kenapa sempat merasa putus asa dan hampir mau minta putus," kata Mbak Nadia pelan. Ia berhenti sebentar menghela nafas, berusaha mengumpulkan mozaik-mozaik kisah cintanya bersama Mas Abiem.

"Ada dua moment besar, Lin...bisa kukatakan moment-moment itu yang memperkuat cinta kami," pelan Mbak Nadia melanjutkan kisahnya

Mbak Nadia berkisah, bahwa Mas Abiem mulai bisa mengerti dan memahami perasaannya ketika ada sebuah berita tentang pendaki yang tersesat di sebuah gunung yang kebetulan Mas Abiem dan teman-temannya juga berada di sana. Moment kedua adalah ketika Mbak Nadia kecelakaan dan tidak bisa menghubungi Mas Abiem sama sekali karena ia berada di tempat yang jauh di pedalaman dan tidak ada sarana komunikasi selain surat-menyurat.

"Setelah dua moment itu Mas Abiem tiba-tiba berubah. Ia jadi lebih mengerti perasaan Mbak, terutama perasaan khawatir dan takut kehilangan," kata Mbak Nadia dengan suara yang makin pelan. Kuperhatikan ada air bening di kedua matanya yang indah.

Aku mengambil kotak tissue dan mengulurkan beberapa lembar pada Mbak Nadia, juga untukku sendiri karena lagi-lagi aku tidak bisa menahan rasa haru mendengar kisah cinta sepasang anak manusia yang mau berjuang untuk cinta mereka.

"Hey...kenapa ikut nangis? Wah, tahu gitu Mbak nggak mau cerita tadi. Si Boss kan nyuruh Mbak bikin kamu seneng, bukannya nangis?" Mbak Nadia mencubit pipiku.
"Santai aja, Mbak...cuma mikir aja, mungkin gak ya aku bisa sesabar itu kalau punya pacar setipe Mas Abiem? Eh, tapi kayaknya Mas Abiem bukan tipeku deh...hehe...!"
"Mungkin faktor usia juga, Lin...lama-lama kamu juga bakal punya kesabaran seperti itu!"
"Tapi kalau emang dasarnya possesif, sampai tua juga kayaknya bakal cemburuan dan curigaan sama pasangannya deh!" kataku sok yakin.
"Ya memang harus belajar, nggak bisa begitu saja timbul pengertian. Kalau Mbak Nadia belajar dari seseorang tentang teori menggenggam pasir," kata Mbak Nadia.
"Wah, orang pacaran ada teorinya juga ya, apaan tuh maksudnya?" tanyaku heran karena baru pertama kali mendengar teori seperti itu.
"Suka main ke pantai kan? Kalau kamu lagi ke pantai, coba kamu genggam pasir dengan tangan kamu, kalau kau genggam terlalu erat maka akan banyak pasir yang berjatuhan. Sebaliknya kalau kau biasa saja menggenggam pasir itu, hanya menaruhnya di kedua telapak tanganmu, maka pasir itu akan tenang berada di tanganmu dan tidak berjatuhan."
"Terus...?" tanyaku masih bingung.
"Nah, begitu juga dalam menjalin hubungan dengan seseorang, kalau kau terlalu mengikat pasanganmu dengan kecurigaan atau kecemburuan yang berlebihan, ia mungkin akan melepaskan diri darimu. Tapi jika kau beri ia rasa percaya, rasa nyaman ketika berada di dekatmu, bukan tidak mungkin ia akan merasa tenang dan merasa sayang untuk melepaskan diri darimu."

Aku tercenung. Seperti itukah selama ini Mbak Nadia melatih kesabarannya, hingga Mas Abiem selalu merasa nyaman berada di dekatnya? Hmm...teori ini akan aku simpan di baik-baik di memori otakku dan akan aku buka kembali kelak jika ada seseorang yang tidak keberatan mengikat diri denganku, dengan segala keadaanku tentu aku akan berusaha membuatnya nyaman berada di dekatku hingga ia tidak betah lama-lama jauh dariku *halah!*

Jujur, detik ini aku ingin sekali Echy ada di sini, bersamaku mendengar seseorang berkisah tentang bagaimana sulitnya usaha menjaga sebuah hubungan, betapa memahami seseorang yang kita cintai itu butuh waktu yang tidak sebentar.

Aaah, Echy...seandainya kau mau sedikit bersabar mendapatkan hati Pramu, mungkin kita tidak akan begini...tidak akan ada hal konyol seperti ini yang mengacaukan persahabatan kita. Semoga benar kita hanya perlu waktu, dan semoga kelak aku masih punya waktu untuk menceritakan padamu, bagaimana "cara menggenggam pasir" yang baik dan benar.


*Thank You buat seseorang yang mau dipinjam tangannya buat menggenggam pasir di pantai (siapa tahu ntar ada yg berminat menjadikanmu model kayak keponakanmu itu, hehe...), hmmm...mau dong jadi pasirnya...!

9 komentar:

Irma Senja mengatakan...

ini kisah nyata ya mba,..?

like this...

beberapa hari yg lalu aku juga sempat terinspirasi membuat puisi,tentang folosofi menggenggam pasir mba.

*apa kabar mba,..?

Yoes Menoez mengatakan...

Hallo Irma, Alhamdulillah kabar baek, semoga begitu jg dirimu.
Bukan murni kisah nyata sih, hanya dulu pernah ada yg mengenalkanku dengan filosofi menggenggam pasir (meskipun justru dia yg tdk bisa mengaplikasikan filosofi itu), pengen deh baca puisi Irma ttg filosofi ini, ditunggu ya...!

Ajeng mengatakan...

[melirik curiga] Jangan-jangan ini pengalaman pribadi ya mbak? Hehehe..

Konon,kesabaran itu luas tiada bertepi. Namun manusia membatasinya sesuai dengan perasaan dan nafsunya.

Mbak Yoes membuat saya jadi pengan nulis cerpen lagi..

ANGIN - SURGA mengatakan...

GIMANA CARA BIKIN BLOG RAME PENGUNJUNGNYA BOSS ?

DewiFatma mengatakan...

Wah, ternyata Mbak Yoes udah ngeblog lagi toh..
Asyyiikk...
Salam buat ya punya tangan ya, Mbak.. :)

Yoes Menoez mengatakan...

@Ajeng : Hah...appaaah...jangan nuduh dong...! *melototinBuAjeng* hihihi...
Betul, Bu...hanya manusia (terutama manusia pemarah) yg selalu bilang sabar itu ada batasnya...

@Angin Surga : Terima kasih sudah berkunjung ke Markas Gesamen...Btw, filmnya bagus2 tp kebanyakan film action ya...yg komedi romantis dong...!

@Dewi : Iya nih, dah kebanyakan ide di kepala...takut menguap begitu saja...
Salamnya ntar disampein deh...orangnya masih di laut...habis masih bnyk pasir yg belum digenggam...hehe...

Mey mengatakan...

saya jadi teringat istri saya yang terkadang menurut saya terlalu berlebihan rasa khawatirnya atau lebih tepatnya perhatiaannya

dan biasanya saya suka mengatakan...

Kamu jangan terlalu mengkhawatirkan aa dan jangan terlalu bergantung kepada aa, berusahalah untuk percaya yang dilakuin suami kamu...

ceritanya asyik banget mba..

lanjuttt

Yoes Menoez mengatakan...

@Om Mey (hehe...ganti nama siiih...!): Emang, Om...cemburu/rasa curiga sama kwawatir/perhatian itu beda tipis ya...? Seneng kali ya kalo dicenburuin, tapi kalo porsinya kebanyakan jadi berasa gak dipercaya kan? Gak nyaman banget pastinya...!
Yg penting sang istri bisa memberikan rasa percaya kali ya...dan sang suami juga menunjukkan sikap bisa dipercaya, kalau sudah menyalahgunakan kepercayaan...whuaaa...kayaknya bakalan susah tuh menumbuhkan rasa percaya lagi...! *belumnikahkoksotoybangetakuya?*

Outbound Malang mengatakan...

salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
nikmatilah hidupmu agar kamu tidak merasa bosan dalam setiap keadaan.,.
ditunggu kunjungan baliknya gan .,.